Ahad 03 Aug 2014 16:00 WIB

Simbolisasi Lebaran Nusantara

Red: operator

Wali Songo mempopulerkan dua jenis Lebaran.

Indonesia, negara mayoritas Muslim terbesar dunia dengan ratusan etnisnya, memiliki ragam tradisi perayaan Idul Fitri atau Lebaran yang amat bervariasi, mulai dari penganan, festival, hiburan, hingga tradisi mudik (pulang kam pung).Agak sedikit berbeda dengan negara-negara Muslim di Timur Tengah, perayaan Idul Fitri di Indonesia berlangsung lebih meriah dibanding hari raya kurban Idul Adha.

Di sebagian wilayah Indonesia, ketupat menjadi sajian khas perayaan Idul Fitri.Kurator dan kokurator tekstil Minangkabau dari Textile Museum di Washington DC Amerika Serikat, John Summerfield dan Anne Summerfield, dalam tulisan mereka "On Culture's Loom" menulis ketupek atau ketupat adalah kantung segi empat yang terbuat dari anyaman helaian daun kelapa.

Beras dimasukkan ke dalamnya dan direbus dalam air mendidih hingga butiran beras menjadi padat dan menyatu. Kantung ketupat tidak dimakan. Ketupat merupakan makanan khas nusantara selama perayaan Idul Fitri atau Lebaran, penanda berakhir nya bulan puasa (Ramadhan).

Di Indonesia, ketupat merupakan simbol penting. Beras mewakili bahan makanan yang dibutuhkan dan kantung ketupat mewakili cahaya iman. Di Indonesia, daun kelapa, yang digunakan untuk membuat kantung ketupat, disebut juga janur. Nur merupakan kata dari bahasa Arab yang berarti cahaya.

Ketupat menyimbolkan orang yang beriman akan mampu memenuhi kebutuhan materi. Saat ketupat direbus selama berjam-jam, kantungnya tidak hancur dan malah semakin kuat. Ini layaknya keimanan seseorang yang semakin kukuh, tidak mudah diguncang, dan mampu menghadapi kesulitan.

Ketupat atau kupat memiliki beberapa arti. Ada yang mengartikan kupat sebagai gabungan dua kata, "ngaku lepat"

(mengaku salah). Ada pula yang meng artikan kupat sebagai bentuk jamak dari "kafi", yaitu kuffat yang berarti cukup, cu kup mengharapkan hidup dunia setelah menjalani pembenahan jiwa selama Ramadhan.

Mengutip "Malay Annal of Semarang and Chrebon" oleh HJ de Graaf, Listya Ayu Saraswati dan P Ayu Indah Wardhani dalam makalah mereka "Perjalanan Multikultural dalam Sepiring Ketupat Cap Go Meh" menyebut ketupat sudah dikenal masyarakat Jawa pada abad ke-15 seiring penyebaran Islam yang dilakukan Wali Songo (sembilan wali) di Pulau Jawa.Lebaran ketupat yang dirayakan pada 8 Syawal ini merupakan bentuk menyisipan nilai Islam dalam budaya lokal.Misalnya, pada Perang Topat (perang ketupat) di masyarakat Islam suku Sasak.

Perang Topat sebenarnya bertepatan dengan upacara pujawali umat Hindu yang diperingati pada bulan keenam kalender Bali. Bagi masyarakat Islam Sasak, Perang Topat merupakan peringatan masuknya Islam di sana.

Dalam artikelnya "Culinary Reconnaissance: Indonesia", Ada Henne Koene menyebut hidangan khas lain saat Lebaran di Sumatra Barat, antara lain, rendang sapi, dendeng belado, dan singgang ayam. Makanan pedas kaya rempah-rempah ini tak lepas dari pengaruh pedagang India dan Arab yang lebih dulu tiba di Indonesia melalui Sumatra.

Sementara, di Jawa, semur dan opor ayam. Keduanya menjadi sajian khas yang agak berbeda karena tidak pedas, semur bahkan dituangi kecap dan memiliki rasa agak manis. Semur merupakan adaptasi makanan Belanda berbahan daging yang dibumbui kecap manis.

Dengan empat macam beras yang ada di Indonesia, beras putih, beras merah, beras ketan putih, dan beras ketan hitam, masyarakat Indonesia bisa memasak aneka masakan, termasuk makanan penutup.Beras ketan hitam umum digunakan untuk membuat tapai yang juga populer dalam perayaan Lebaran.

Guru besar Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Abd Majid dalam artikelnya "Mudik Lebaran" menuturkan, mudik Lebaran adalah kegiatan pulang ke tanah kelahiran untuk bertemu sanak keluarga pada hari suci Idul Fitri.

Idul Fitri merupakan perayaan agama, sementara mudik adalah kegiatan budaya.

Ini menunjukkan adanya keselarasan antara agama dan budaya. Budaya ini pun membentuk spesifikasi budaya Muslim etnik Melayu. Karena itu, mudik pada akhir Ramadhan tidak akan dijumpai pada Muslim etnik lain.

Mudik sebagai silaturahim juga ti dak bertentangan nilai-nilai Islam. Silatu rahim merupakan interaksi inklusif, fa mi lier, dan berkualitas yang dibangun dan dicontohkan Rasulullah. Islam juga menyebut banyak manfaat yang bisa di per oleh melalui silaturahim, mulai dari memperat persaudaraan hingga mem perluas rezeki.

Terlebih, jika mudik adalah sebuah upaya berbakti anak-anak kepada orang tua yang jauh dan lama tidak ditemui.

Kehidupan modern saat ini yang dibarengi kecanggihan teknologi, tulis Abd Majid, belum mampu menyaingi bentuk pertemuan dan ikatan kasih sayang nyata keluarga dan komunitas.

Pada hari Idul Fitri, tradisi berziarah, silaturahim ke sanak keluarga, dan membeli baju juga menjadi tradisi masyarakat yang jamak dilakukan seperti Muslim di negara lain.

Lebaran Ketupat Dito Alif Pratama dalam artikelnya "Lebaran Ketupat dan Tradisi Masyarakat Jawa" mengungkapkan masyarakat Jawa umumnya mengenal dua kali Lebaran, pertama adalah Idul Fitri 1 Syawal dan kedua adalah Lebaran Ketupat pada 8 Syawal setelah puasa sunah enam hari Syawal.

Lebaran Ketupat pertama kali dikenal kan Sunan Kalijaga. Saat itu, Sunan Kalijaga menggunakan dua istilah, Bakda Lebaran dan Bakda Kupat. Bakda Lebaran adalah perayaan Idul Fitri yang diisi dengan shalat Id dan silaturahim.

Sementara, Bakda Kupat dilakukan tujuh hari setelahnya. Masyarakat kembali membuat ketupat untuk diantarkan kepada sanak kerabat sebagai tanda kebersamaan.

Tradisi ini juga tetap lestari di komunitas Muslim Jawa di berbagai daerah, seperti Muslim di Kampung Jawa Todano di Minahasa.Tradisi mengantarkan makanan ini juga teradapat di Motoboi Besar, Sulawesi Utara, dan Bali. Muslim Bali atau Nyama Selam (saudara yang beragama Islam) melakukan tradisi ngejot, yakni mengantarkan makanan ke tetangga menjelang Idul Fitri.Umat Hindu juga akan melakukan tradisi serupa saat hari raya Nyepi atau Galungan.

Pada laman resmi panduan wisata Indone sia Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dijelaskan sejak abad ke- 15 di Gorontalo, terdapat festival Tumbi lotohe. Tumbilo yang berarti memasang dan tohe yang berarti lampu dilakukan masyarakat setempat di rumah-rumah.

Dahulu, lampu dinyalakan mengguna kan getah damar atau pohon lainnya. Lam pu-lampu dinyalakan tiga hari menjelang Idul Fitri untuk memudahkan distribusi zakat fitrah oleh masyarakat sebab saat itu penerangan masih sangat minim. Saat ini, Tumbilotohe sudah menggunakan lampu yang dinyalakan dengan minyak. rep: Fuji Pratiwi  ed: nashih nashrullah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement