Kamis 25 Aug 2016 18:00 WIB

Standarisasi Kebijakan Keuangan Mikro Syariah Dunia

Red:

Dalam perhelatan World Islamic Econimic Forum (WIEF) ke 12 di Jakarta belum lama ini, ada salah satu pekerjaan rumah yang menuntut beberapa pihak yang terlibat aktif dalam Policy Roundtable Discus sion (PRD) dalam acara tersebut adalah merumuskan dan mengoperasionalkan lima pilar program IDB dalam rangka merealisasikan dan mensukseskan prog ram IMPACT (Islamic Microfinance for Po ver ty Alleviation and Capacity Trans fer) Islamic Development Bank (IDB).

Kelima pilar IMPACT itu adalah regulasi dan stan darisasi kebijakan, operasional, tek no logi, monitoring dan evaluasi, serta ad vo kasi. Forum diskusi yang mengang kat tema Enabling Regulatory Environ ment for Islamic Microfinance Institu tions ter sebut memiliki target penting agar lem baga keuangan mikro syariah (LKMS) di ma sing-masing anggota IDB memiliki pe ran yang signifikan agar jargon IMPACT bisa terealisasi dengan baik dalam kerangka lima pilar tersebut.

Salah satu pertanyaan yang mengemuka adalah bagaimana merumuskan standarisasi kebijakan dalam rangka memperkuat peran sentral LKMS de ngan latar belakang beragam masingmasing negara anggota IDB; kerangka kebijakan yang vis-a-vis menegaskan perbedaan antara LKMS dengan lem baga keuangan mikro konvensional.

Dengan latar bela kang sosio-politik yang berbeda tentunya bukan pekerjaan mu dah untuk merumuskan standarisasi ke bijakan LKMS tersebut. Belum lagi peng gunaan kata mikro seringkali memicu perdebatan. Dalam konteks regulasi In do nesia misalnya, perdebatan bisa mun cul di seputar siapa yang "layak" untuk menjadi nasabah dalam kerangka regulasi otoritas jasa keuangan (OJK) atau anggota dalam kerangka regulasi Ke men terian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM).

Di Indonesia sendiri ketika muncul kata pengentasan kemiskinan, maka ada potensi perluasan klasifikasi nasabah atau anggota; dari masyarakat yang unbankable ke masyarakat miskin yang unbmtable (the poorest of the poor). Un tuk masyarakat yang tergolong mis kin, jangankan mendapatkan pelayanan keuangan dari bank, pelayanan keuang an dari BMT (Baytul Mal wat Tamwil) dan sejenisnya saja mungkin tidak layak.

Oleh karena itulah, ketika berbicara masalah pengentasan kemiskinan harus bermula dari definisi kemiskinan yang dimaksud. Dalam Islam, kemiskinan tidak hanya dipandang dari dimensi materi atau ekonomi saja, tapi termasuk isu-isu ketidakberdayaan dari dimensi non-ekonomi; seperti literasi keuangan yang buruk, pesimis, pasif, tidak memiliki skill, integritas, dan lain-lain.

Terlepas dari ikhtilaf mengenai "sub jek pelayanan" keuangan, beberapa pa kar yang terlibat dalam PRD sepakat bah wa ketika LKMS di masing-masing ne gara memiliki target untuk mereali sasikan jargon IMPACT, paling tidak harus merujuk ke empat isu utama da lam kerangka kebijakannya; fungsi pemberdayaan (baytut tamkin), fungsi so sial-ekonomi (baytul mal), fungsi bisnis (baytut tamwil), dan fungsi proteksi (baytut ta'min) dengan memastikan setiap fungsi tersebut patuh syariah.

Pilihan LKMS yang mengusung tar get pengentasan kemiskinan dari pe ngen tasan non-materi bisa berawal dari upaya mengoptimalkan fungsi pemberdayaan (baytut tamkin). Dari perspektif pemberdayaan ini, negara-negara ang gota IDB diharapkan mampu merumus kan kerangka kebijakannya yang mendukung fungsi pemberdayaan ini bisa di lakukan oleh LKMS. Penggunaan in stru men filantropi Islam seperti ZISWAF perlu mendapatkan ruang yang kuas agar bisa diberdayakan dalam rangka mengoptimalkan fungsi pemberdayaan LKMS tersebut.

Kedua, fungsi sosial-ekonomi (baytul mal), bisa diterapkan sebagai tahap an masyarakat yang tergolong miskin untuk bisa mandiri dan memiliki ke mampuan untuk bisa masuk pada ta hapan dimana dia layak untuk menda pat kan pelayanan keuangan yang berbasis akad bisnis. Masyarakat miskin bela jar untuk amanah ketika diberikan la yanan keuangan dalam bentuk pinjaman (qardh). Tidak ada kewajiban untuk menambah jumlah tertentu dari pinjam an yang didapatkan kecuali sejumlah uang pinjaman yang dia terima dari LKMS. Pada tahapan ini, bisa juga meng optimalkan penggunaan dana ZISWAF.

Tantangannya adalah, bagaimana LKMS bisa memilah mana masyarakat yang betul-betul dinilai amanah setelah "lulus" dari tahapan fungsi pemberdayaan nonmateri dari LKMS.

Ketiga, fungsi bisnis (baytut tamwil) LKMS bisa menjadi katalisator bagi masyarakat miskin menuju masyarakat yang berdaya dari sisi materi/ekonomi. Tahapan ini menjadi sebuah proses dimana masyarakat miskin bisa memulai hidupnya dengan mandiri secara ekono mi dan layak naik kelas untuk mendapat kan pelayanan keuangan dengan akad atau kontrak bisnis. Perpaduan antara ber daya secara non-ekonomi (integritas) dan ekonomi itulah yang bisa dikatakan bebas dari kemiskinan secara paripurna.

Masyarakat miskin dengan integritas yang kokoh, akan mengantarkan dia sebagai sosok individu yang gemar berinfaq. Ketiga fungsi di atas sangat erat kaitannya dengan upaya IDB untuk melakukan transfer kapasitas (transfer of capacity) bagi masyarakat yang tergolong miskin. Keempat, fungsi proteksi (baytut ta'min) yang tidak bisa dipisahkan dalam seluruh proses pelayanan dan pemberdayaan yang dilakukan oleh LKMS.

Seluruh tahapan yang dilakoni oleh LKMS memiliki risikonya masingmasing, terutama ketika menyangkut kontrak atau akad bisnis. Islam mengajarkan perlunya melakukan mitigasi risiko baik itu dalam kontrak yang mengedepankan tujuan sosial, apalagi menyangkut tujuan bisnis. Disinilah perlunya kerangka kebijakan yang meng akomodir fungsi proteksi bagi LKMS.

Pesan dari keempat fungsi di atas adalah perlunya standarisasi kebijakan LKMS yang integratif bagi negara-negara anggota IDB dalam rangka pengentasan kemiskinan dan transfer kapasitas. Konsekwensi logis dari kebijakan integratif ini berdampak pada model kebijakan pengawasan yang integratif pula.

Kerangka kebijakan yang integratif ini senada dengan definisi keuangan mikro yang dinyatakan United Nation bahwa keuangan mikro adalah lebih dari seke dar simpanan dan pinjaman. Pelayanan ke uang an mikro meliputi dwifungsi peran, yaitu intermediasi sosial dan ke uangan. Wallahu a'lam. 

Dr Yulizar D. Sanrego

Peneliti, Pusat Studi & Pengembangan Ekonomi & Keuangan Islam Pesantren (PUSPEKIN) Universitas Darussalam Gontor

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement