Kamis 28 Jul 2016 17:00 WIB

TAMKINIA- Ceruk Pengembangan Ekonomi Masyarakat

Red:

Saat ini sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan pedesaan mengalami tiga masalah besar untuk diselesaikan, yaitu permodalan yang lemah, kemiskinan, dan sumberdaya pertanian. Sejauh ini salah satu kebijakan untuk pertanian di pedesaan adalah implementasi pemberdayaan masyarakat desa yang mengarah pada kemandirian permodalan, berkesinambungan, dan berkelanjutan. Pendekatan pemberdayaan dengan kemandirian penduduk desa merupakan ciri bottom up dalam mengikutsertakan partisipasi dari masyarakat pedesaan. Sehingga, dengan adanya partisipasi masyarakat melalui pembangunan pedesaan ini merupakan wujud dari kemandirian desa dalam pengentasan kemiskinan. Pada umumnya, program yang diberikan oleh pemerintah hanya dalam bentuk fisik seperti bantuan irigasi, pupuk, mesin pompa, pem bangunan sarana air bersih, dan sebagainya.

Namun, pada kenyataannya program tersebut sering tidak maksimal dalam tujuannya dan tidak berkelanjutan. Banyak faktor yang memengaruhi hal tersebut yaitu (1) ketidaktepatan antara kebutuhan masyarakat dengan bantuan yang diberikan (2) paket proyek yang tidak dilengkapi oleh keterampilan pendukung (3) tidak ada kegiatan monitoring yang terencana (4) tidak ada kelembagaan yang bersifat berkelanjutan dalam mendampingi program tersebut.

Kelembagaan ekonomi dan perangkat lainnya di desa selama ini bersifat top down yang berawal dari pemerintah yang kadangkala bersifat merusak tatanan kelembagaan yang sudah ada dan berlanjut dalam suatu daerah. Desa, dan masyarakat dianggap sebagai obyek pembangunan dengan partisipasi dari masyarakat yang rendah. Sehingga berakibat pada sikap apatis yang dilakukan oleh masyarakat desa terhadap kelembagaan baru ini.

Permasalahan yang kompleks dalam optimalisasi pedesaan membutuhkan solusi yang tepat guna serta berkelanjutan. Ceruk pengembangan ekonomi masyarakat berbasis pedesaan yang bisa di-endorse adalah institusi kelembagaan tertua di Indonesia yaitu Pondok Pesantren yang merupakan lembaga pendidikan yang telah eksis di tengah masyarakat selama enam abad (mulai abad ke-15 hingga sekarang). Lembaga ini tumbuh dari bawah, atas kehendak masyarakat yang terdiri atas: kiai, santri, dan masyarakat sekitar termasuk, terkadang, perangkat desa. Pesantren merupakan produk sejarah yang telah berdialog dengan zamannya yang memiliki karakteristik berlainan baik menyangkut sosio-politik, sosio-kultural, dan sosio-ekonomi. Antara ponpes serta masyarakat sekitar, khususnya masyarakat desa sudah terjalin hubungan yang harmonis. Jumlahnya yang mencapai 27.920 yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia telah banyak menyumbang kontribusi terhadap pendidikan Islam, serta pendidikan dalam kompetensi umum lainnya terhadap masyarakat desa.

Banyaknya jumlah ponpes serta jumlah santri merupakan aset bagi bangsa untuk mengembangkan kelembagaan masyarakat sebagai salah satu lembaga yang berperan aktif dalam upaya pengembangan kawasan pedesaan. Ponpes hadir di tengah masyarakat pedesaan bukan hanya memiliki peran dalam pengajaran keilmuan agama serta kompetensi umum yang setara dengan sekolah umum lainnya, namun ada sisi pengabdian terhadap masyarakat.

Oleh karena itu, ponpes dapat bereperan sebagai pusat kelembagaan pertanian di pedesaan yang mengkoordinasikan peran produksi pertanian oleh petani, serta dalam hal penyediaan input produksi, penyuluhan, serta linkage pemasaran dari hasil produksi pertanian. Program pertanian yang akan digulirkan peme rintah bila ditargetkan untuk berkelanjutan, maka harus terintegrasi dengan peran ponpes sebagai kelembagaan pertanian pedesaan. Integrasi program pemerintah terhadap pertanian memerhatikan proyeksi investasi yang menguntungkan secara jangka pendek maupun jangka panjang. Pemerintah dapat membuat prioritas terhadap program pertanian yang akan dijalankan kedepannya.

Peran pondok pesantren dalam permodalan pertanian haruslah sesuai dengan konteks ajaran Islam dengan mekanisme yang halal, dan baik. Salah satu pembiayaan yang halal secara syariah untuk pertanian dapat menggunakan skim pembiayaan Bai' Salam untuk pembiayaan kepada para petani kecil di sekitar masyarakat. Bai' Salam merupakan akad jual beli antara Pondok Pesantren dengan Petani di sekitar pondok pesantren dengan pembayaran di awal akad sebelum barang/hasil produksi pertanian. Barang yang dijual tentunya harus jelas secara jumlah dan harga dari yang diproduksi.

Penyediaan bibit murah untuk para petani dapat menjadikan pondok pesantren sebagai seed center (pusat benih) di tengah masyarakat. Ponpes dapat bekerja sama dengan petani mitra dalam memproduksi benih. Sehingga, benih yang diproduksi oleh petani dijual ke pondok pesantren. Setelah itu, benih tersebut diolah dan disimpan untuk dijual dengan harga yang terjangkau kepada para petani pada masa tanam berikutnya.

Manajemen dengan bentuk ini cocok untuk kondisi masyarakat yang sebagian besar bekerja sebagai buruh tani yang tidak memiliki lahan dan mendapat upah dari pemilik lahan setelah panen. Sehingga, pondok pesantren membuka lapangan kerja bagi para masyarakat sekitar yang bekerja sebagai buruh tani untuk mengurus lahan pertanian pondok pesantren.

Input pertanian hingga pemasaran dilakukan terpusat oleh pondok pe santren dengan memberdayakan santri sebagai mandor. Pemasaran oleh pondok pesantren dapat dilakukan dengan mekanisme linkage dengan minimarket atau pasar tradisional dengan membangun kemitraan bisnis. Hasil panen yang dihasilkan nantinya akan dijual ke mitra bisnis yang dimiliki oleh pondok pesantren dan keuntungannya akan dibagi antara pondok pesanren dengan buruh tani sesuai proporsi yang sudah ditentukan sebelumnya.

Mekanisme bagi hasil keuntungan tersebut diharapakan menjadi upah yang adil bagi para masya rakat buruh tani yang ada di sekitar pondok pesantren. Wallahu a'lam.

Dr Jaenal Effendi

Ketua Prodi Ilmu Ekonomi Syariah FEM (Fakultas Ekonomi dan Manajemen) IPB

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement