Kamis 23 Jun 2016 15:00 WIB

TSAQOFI- Perang Badar dan Ekonomi Syariah

Red:

Salah satu peristiwa besar yang terjadi pada bulan Ramadhan adalah Perang Badar. Perang ini telah mengubah konstelasi politik dan kekuasaan dimana Madinah muncul menjadi kekuatan yang sangat diperhitungkan dalam kancah politik global di masa itu. Dakwah Rasulullah SAW pun mengalami penguatan dan ekspansi yang luar biasa.

Menurut novelis Habiburrahman El-Shirazy (Kang Abik) dalam satu acara di Bogor belum lama ini, peristiwa Perang Badar pada dasarnya merefleksikan berlakunya hukum-hukum yang Allah ciptakan untuk manusia. Yaitu, al-ahkam asysyar'iyyah (hukum syariah), yang mencakup Alquran dan hadits-hadits Rasulullah SAW, dan alahkam al-kauniyyah (hukum alam), yang menjelaskan beragam tanda-tanda kekuasaan-Nya, seperti hukum gravitasi, peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian di alam semesta, hingga hukum-hukum sosial kemasyarakatan yang belum diatur secara eksplisit dalam Alquran dan hadits. Hukum alam ini pada dasarnya merupakan sunnatullah kehidupan yang berlaku sama atas seluruh manusia tanpa kecuali.

Dalam konteks Perang Badar, Kang Abik me nyatakan bahwa titik berangkat perang ini adalah karena faktor iman, sehingga aspek al-ahkam asy-syar'iyyah-nya telah terpenuhi. Kekuatan iman inilah yang menjadi faktor pemicu turunnya pertolongan Allah SWT melalui pengiriman balatentara malaikat. Namun demikian, aspek alahkam al-kauniyyah pun juga terlihat dalam pe rang Badar ini, meskipun jumlah pasukan kaum muslimin saat itu lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pasukan kafir Quraisy.

Secara logika hukum alam, di atas kertas, jumlah yang lebih banyak dapat mengalahkan jumlah yang lebih sedikit. Namun ternyata faktor kuantitas ini bukanlah satu-satunya faktor pe nentu kemenangan. Ada banyak faktor lain yang memengaruhi kemenangan perang, dimana fak tor-faktor ini juga selaras dengan hukum alam.

Beberapa faktor yang dalam perspektif hukum alam ikut memengaruhi kemenangan kaum muslimin dalam Perang Badar antara lain adalah pertama, faktor jarak. Jarak tempuh pasukan Nabi ke medan Badar jauh lebih dekat dibandingkan dengan jarak tempuh pasukan kafir Quraisy. Ini tentu memberikan masa istirahat lebih lama bagi Rasul dan para sahabat. Kedua, pemilihan lokasi tempur dan persiapan logistik perang. Rasulullah dan para sahabat memilih lokasi perang yang dekat dengan sumber mata air, sehingga ini memberikan keunggulan dari sisi penguasaan logistik strategis, yaitu air. Rasul dan para sahabat pun mempersiapkan perang ini dengan menggunakan peralatan tempur yang baik dan kuat, sehingga kualitas persenjataan yang dimiliki kaum muslimin pun tidak kalah dengan kaum kuffar.

Ketiga, faktor mentalitas dan kebugaran fisik. Allah meneguhkan hati kaum muslimin sehingga secara mental lebih baik. Selain itu, turunnya hujan rintik-rintik dan rasa kantuk yang kemudian membuat para sahabat tertidur lelap sangat memengaruhi kebugaran fisik pasukan pada saat akan berperang keesokan harinya. Adapun kaum kafir Quraisy dihinggapi oleh rasa was-was dan tidak bisa tidur dengan nyenyak, sehingga secara fisik mereka menjadi sangat lelah.

Faktor-faktor inilah yang kemudian membantu kemenangan kaum muslimin, sehingga secara logika hukum alam, kemenangan tersebut men jadi "sangat logis". Karena itu belajar dari Perang Badar, maka dalam membangun kekuatan eko nomi syariah diperlukan adanya per paduan antara al-ahkam asy-syar'iyyah dengan al-ahkam al-kau niyyah agar ekonomi syariah bisa tumbuh, ber kembang, dan pada suatu saat dapat meng gan ti kan dominasi ke kuatan sistem ekonomi ribawi.

Ketika secara hukum syariah, aktivitas eko nomi berbasis riba (bunga), gharar (ketidakpastian ekstrim), maysir (spekulasi dan perjudian), kegiatan haram dan batil dilarang, maka pada tataran aplikasinya, para pejuang ekonomi syariah juga harus meningkatkan kualitas pengelolaan institusi ekonomi syariah. Institusi ekonomi syariah harus menjadi institusi yang profesional, amanah, kompeten, relevan dengan kebutuhan masyarakat, akuntabel dan mampu memberikan dampak positif terhadap kesejah teraan. Kualitas layanan pun harus ditingkatkan, sehingga aspek hukum alam ini bisa dipenuhi.

Apabila pengelolaan institusi ekonomi syariah ini dilakukan secara asal-asalan, tidak profesional, tidak adil dan tidak transparan, maka aspek hukum alam menjadi tidak terpenuhi. Jika ini terjadi, jangan harap akan terjadi proses transformasi sistem ekonomi ribawi menjadi sistem ekonomi syariah. Tidak boleh kita berlindung di balik fatwa DSN MUI sementara kualitas tata kelolanya diabaikan.

Sebaliknya, jika fokus utama hanya pada aspek hukum alam, dan mengabaikan hukum syariah, maka institusi ekonomi syariah akan kehilangan ruhnya. Sebagai contoh, jika pim pinan bank syariah lebih fokus pada aspek bisnis komersial dan mengabaikan aspek syariah, misalnya dengan mengabaikan kajian-kajian ayat dan hadits tentang ekonomi, atau menganggap kajian keislam an dan budaya shalat dhuha sebagai manifestasi dari pola pembinaan ala pesantren yang tidak relevan dengan tuntutan bisnis modern, maka dipastikan institusi tersebut akan kehilang an keberkahan dan jati dirinya. Ruh syariah akan tercerabut, sehingga publik akan semakin sulit membedakan antara institusi perbankan syariah dengan institusi perbankan konvensional.

Untuk itu, keseimbangan antara hukum syariah dan hukum alam sangat diperlukan. Melalui keseimbangan keduanya, maka potret ideal institusi ekonomi syariah akan terwujud secara nyata. Inilah pekerjaan besar kita saat ini, yaitu bagaimana memadukan al-ahkam asysyar'iyyah dengan al-ahkam al-kauniyyah pada tataran realitas sistem ekonomi syariah. Wallaahu a'lam.

Dr Irfan Syauqi Beik

Kepala Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah (CIBEST) IPB

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement