Kamis 24 Mar 2016 13:00 WIB

Sukuk dan Aspek Kepatuhan Syariah

Red:

Pertumbuhan yang aktif dalam pasar modal adalah modal utama untuk memberikan alternatif kesempatan pembiayaan (funding avenues) untuk individu, entitas korporasi dan pemerintah. Pasar modal yang aktif akan manarik jumlah besar modal (capital) dari para investor untuk masuk kedalamnya. Pada pasar keuangan syariah, inovasi instrumen keuangan diluncurkan untuk memenuhi minat dan kebutuhan pasar keuangan dengan basis syariah baik secara form (bentuk) dan substansinya. Sukuk merupakan instrumen investasi alternatif yang menjadi primadona dari awal peluncurannya sampai sekarang.

Secara global, pasar sukuk telah menunjukkan pertumbuhan kokoh dengan hampir tiga kali lipat dari USD 45 miliar 2011 menjadi USD118.8 miliar pada (triwulan 1) 2014. Pertumbuhan ini didorong oleh dua pasar modal syariah utama yaitu Malaysia, Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab dan pasar baru seperti Turki dan Indonesia. Indonesia mampu menduduki peringkat ke 4 (14,1 persen) setelah Malaysia (42,3persen), Uni Emirat Arab (18.2persen) dan Bahrain (14,2 persen). Hal ini merupakan perkembangan yang sangat menggembirakan untuk pasar keuangan syariah di Indonesia.

Klasifikasi tipe sukuk

Dari awal peluncurannya, sukuk dikategorikan kedalam dua bentuk yaitu asset-based dan asset-backed sukuk. Asset-based sukuk merupakan sukuk yang berbasis aset riil sedangkan asset-backed sukuk merupakah sukuk yang melekat dan di back-up oleh aset riil. Pengkonstrukan sukuk tersebut didasari oleh teknik dan fitur komersial yang melekat pada masing-masing tipe untuk memenuhi persyaratan kepatuhan syariah.

Asset based-sukuk adalah jenis aset atau usaha bisnis yang memberikan alternatif kepada penerbit, akan tetapi tidak untuk asetnya. Tidak terjadi penjualan sepenuhnya dari aset kepada investor untuk memperoleh kepemilikan dari aset akan tetapi investor hanya menikmati kepemilikan kemanfaatan (beneficial ownership). Sukuk berbasis aset riil ini hanya digunakan untuk membuat struktur transaksi sesuai syariah secara form. Pada dasarnya, aset riil yang dijadikan dasar penerbitan sukuk tidak dijadikan sumber pembayaran atau tidak serta merta menjadi back-up untuk pembayaranya.  Sukuk berbasis aset terstruktur untuk mereplikasi obligasi. Selain itu, imbal dihitung sebagai persentase dari jumlah total yang "diinvestasikan" bukan sebagai persentase dari total keuntungan. Dari perspektif hukum dalam perpajakan, sukuk berbasis aset diperlakukan sebagai obligasi dan dalam akuntansi diperlakukan dalam "on balance sheet".

Sedangkan aset-backed sukuk merupakan sukuk yang dijaminkan atas aset riil dengan penerbitan yang didasari aset riil tersebut. Aset ini dipisahkan kepemilikannya kepada Special Purpose Vehicle (SPV) dan menjadi sumber pembayarannya. Dalam perpektif akuntansi penghitunganya dilakukan dalam "off balance sheet".

Sukuk defaults dan isu kepatuhan syariah

Pada November 2007, Syeikh Muhammad Taqi Usmani, memberikan sebuah pernyataan yang mencengangkan, hampir 85 persen sukuk yang beredar secara global belum sepenuhnya patuh terhadap syariah (shariah compliant). Pernyataan ini, mejadi salah satu pendorong pasar sukuk jatuh pada tahun 2008 (DiVanna, 2009), bersamaan dengan dilanda krisis keuangan global 2008. Beberapa sukuk mengalami defaults (gagal bayar) diantarnya Investment Dar Company (TID), Golden Belt (GCC) dan Nakheel dikarenakan isu kepemilikan (Abdullah, 2012).

Isu asset-based sukuk mencuat dengan menelisik seberapa jauh tingkat kepatuhannya terhadap syariah. Tidak ada satupun asset-backed sukuk yang mengalami defaults dikarenakan kepemilikan aset dengan peluncuran sukuk in line dengan alur kas aset tersebut. Beberapa isu kepatuhan syariah yang muncul pada asset-based sukuk diantaranya adalah : pertama, kontradiksi antara dokumentasi hukum dan persyaratan syariah.

Kepemilikan aset pokok (underlying asset) seharunya berada ditangan pemegang sukuk. Namun, dalam praktik, aset hanya digunakan untuk memfasilitasi penerbit untuk persyaratan syariah. Pemegang sukuk hanya diberikan pemindah kepemilikan kemanfaatan (beneficial ownership) saja. Dengan ungkapan lain, struktur sukuk dibuat untuk memenuhi form atas kepatuhan syariah, akan tetapi secara subtansi belum dapat tercapai. Utamanya, kontrak yang dibentuk seyogyanya memenuhi dua kreteria form dan subtansi untuk bisa dilabeli sebagai shariah compliant (Dusuki, 2010). Selain itu, imbal yang diberikan tidak terkait langsung dengan alur kas dari aset dalam kesepakatan awal.

Kedua, pemegang sukuk tidak memiliki hak untuk menjual aset. Pemegang sukuk tidak memiliki kepentingan terhadap aset, sehingga mereka tidak bisa menjual aset kepada pihak ketiga. Pembatasan tidak hanya menimbulkan pertanyaan apakah asset-based sukuk benar-benar sesuai dengan prinsip syariah atau tidak, tetapi apakah bertentangan juga dengan prinsip keadilan terutama dalam kasus default. Apakah pemegang sukuk benar-benar cukup memperhatikan fakta bahwa mereka tidak mempunyai kepemilikan secara legal terhadap aset dasar tersebut?

Ketiga, penggunaan Wa'ad (purchase undertaking) pada sukuk yang berbasis ekuitas telah membuat sukuk secara substansi menjadi instrumen berbasis utang.Wa'ad pada saat transaksi (awal) berlaku sebagai penjamin terhadap pokok dan imbal terkait dengan performa usaha. Wa'ad (janji) merupakan instrumen yang dapat diterima ketika digunakan oleh pemiliknya sendiri. Akan tetapi, ketika wa'ad dikombinasikan dengan peningkatan kredit, maka merubah kontrak kerjasama dalam syariah (musyarakah dan mudarabah) menjadi mirip kontrak utang. Dengan kata lain, hal ini membuat utang dalam kontrak kepercayaan yang menyerupai obligasi konvensional. Ayub (2007) merujuk pada Standar AAOIFI, bahwa dalam prospektus untuk menerbitkan sebuah sertifikat  tidak boleh tercantum sebuah pernyataan bahwa penerbit wajib memberikan kompensasi berupa nominal tertentu selain gugatan dan kelalaian, atau dia menjamin persentase tetap dari keuntungan. Mengacu standar, jelas bahwa asset-based sukuk memiliki masalah kepatuhan syariah.

Keempat, independensi SPV. Dalam struktur asses-based, pemegang sukuk melalui SPV memiliki akses lain kepada penerbit dalam hal ketika asset dasar tidak mampu memberikan alur kas yang cukup. SPV merupakan credit-linked kepada penerbit. Dalam hal ini, agensi pemeringkat tidak akan mempertimbangkan keadaan SPV sebagai entitas independen. Merujuk kepada panduan, perjualan yang sebenarnya memerlukan SPV untuk menjadi entitas independen dari penerbit sukuk itu sendiri. Hal ini mengindikasikan bahwa, transaksi penjualan yang terjadi tidak memenuhi penjualan sebenarnya. Wallaahu a'lam.

Thuba Jazil

Peneliti Senior Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah (CIBEST) IPB

Tita Nursyamsiah

Dosen Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement