Kamis 26 Nov 2015 15:00 WIB
BUKAN TAFSIR-

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

Red:

Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berlangsung 25-27 September tahun ini te lah melahirkan kesepakatan baru ten tang tujuan pembangunan global yakni Sustainable Development Goals (SDGs) yang merupakan komitmen lanjutan da ri Millennium Development Goals (MDGs) yang akan berakhir Desember 2015.

Dibandingkan MDGs, cakupan tu juan dalam SDGs lebih luas. Jika MDGs ha nya terdiri 8 tujuan kesejahteraan, SDGs memiliki 17 tujuan (dengan 169 tar get/sasaran) untuk dicapai dalam 15 ta hun mendatang (2030). Keseluruhan tujuan SDGs mencakup 3 dimensi tujuan baik ekonomi, sosial, dan lingkungan se cara lebih komprehensif dan universal. MDGs, di sisi lain dinilai banyak kalangan lebih mengedepankan aspek so sial-ekonomi (7 item) dibanding satu tujuan terkait lingkungan.

Secara ringkas, ke-17 SDGs tersebut adalah sebagai berikut: (1) mengurangi segala bentuk kemiskinan; (2) mengakhiri kelaparan dan mencapai ke tahanan pangan; (3) menjamin kesehat an yang baik dan kesejahteraan inklusif; (4) menjamin pendidikan yang inklusif dan berkualitas; (5) kesetaraan gender; (6) menjamin ketersediaan air bersih dan sanitasi; (7) ketersediaan energi bersih dan terjangkau; (8) pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja yang layak; (9) membangun industri, inovasi dan infrastruktur yang inklusif; (10) mengurangi kesenjangan intra dan antar negara; (11) menjamin kota yang berkelanjutan dan inklusif; (12) menjamin pola konsumsi dan produksi secara bertanggung jawab; (13) meme rangi perubahan iklim dan mengurangi dampaknya; (14) melestarikan kehidupan di bawah laut (samudera) secara berkelanjutan; (15) melindungi, mengembalikan keberlangsungan ekosistem darat; (16) mendorong masyarakat yang damai dan inklusif; (17) kemitraan dalam mencapai tujuan (lihat http://www.globalgoals.org/).

Secara filosofis pembangunan berkelanjutan bermakna saling menghormati, menghargai, inklusif, dan berlaku adil. Dalam hal ini, tujuan pembangunan tidak hanya untuk saat ini dan hanya bagi golongan tertentu tapi juga memperhatikan keberlangsungan antar generasi dan menjaga keseimbangan dengan alam dan makhluk hidup lain. Adapun keadilan berarti pencapaian pembangunan di satu sisi tidak boleh mengorbankan tujuan lainnya. Kalau hal ini terjadi, niscaya hasil pembangunan akan lebih berkualitas dan lebih dirasakan secara nyata.

Lalu bagaimanakah hubungan anta ra agama dan SDGs. Etika agama diha rapkan berperan untuk menuntun cara pandang, sikap, dan aksi umatnya me respon tren dunia ke depan. Sebenarnya agak kurang tepat pengertian bahwa umat beragama harus merubah cara pandangnya merespon tren pembangunan, karena sebenarnya apa yang hendak dicapai dalam SDGs juga bersesuaian dengan karakter dan tujuan ajaran agama. Dalam artian, perspektif agama akan sangat sejalan dengan perwujudan dunia yang sejahtera, aman, berkeadilan dan berkeadaban.

Dunia memang cepat berubah. Da lam konteks sejarah peradaban, per ubah an dunia terjadi secara signifikan pada zaman umat Nabi Muhammad SAW. Hal ini diakui Nabi SAW sendiri yang dalam satu riwayat menyatakan bahwa sebagian keistimewaan umat beliau daripada umat para nabi se belum nya adalah bahwa umat beliau diberi 'kunci-kunci perbendaharaan bumi' (HR Bukhari-Muslim, lihat Mukhtârul Ahâdits no.190).

Dengan kata lain, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, kelembagaan dan perdagangan menyebabkan eksploitasi kekayaan alam terjadi seca ra lebih masif, terutama pasca revolusi industri, hingga saat ini. Hal ini merupakan sesuatu yang belum Allah turun kan bagi umat-umat Nabi sebelumnya.

Kemajuan peradaban memiliki dua sisi mata uang. Di satu sisi, inovasi, industrialisasi, dan perdagangan yang semakin bebas telah berdampak pada meningkatnya aktifitas ekonomi industri dan eksploitasi sumber daya alam. Di sisi lain, terdapat implikasi lanjutannya yakni semakin melebarnya ketimpangan pendapatan yang dicirikan dengan semakin dominannya kaum kapitalis. Ekonom Jeffrey Sachs mengungkapkan kalau dulu orang relatif 'merata' dalam kondisi pendapatan yang rendah (ke mis kinan), saat ini peningkatan income suatu perekonomian selalu dibarengi dengan ketimpangan yang semakin menganga karena kue ekonomi sebagian besar hanya dirasakan oleh sekelompok orang saja.

Aspek inequality inilah yang merupakan unfinished business (belum berhasil dicapai) dalam periode MDGs. Banyak pihak menilai bahwa MDGs secara umum baru berhasil pada level mengurangi tingkat kemiskinan ekstrim (extreme poverty) belum sampai level mengurangi ketimpangan dan pemihakan terhadap lingkungan.

Selanjutnya, perubahan iklim juga merupakan tantangan besar masya rakat dunia. Kajian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) secara yakin menyatakan bahwa aktifitas ma nusia merupakan faktor utama kenaikan suhu global yang tak lain disebabkan oleh peningkatan konsentrasi CO2 (dan emisi rumah kaca lainnya), terutama penggunaan BBM untuk industri, transportasi, dan rumah tangga.

Agama mensyariatkan bahwa pengembangan dan penjagaan alam semesta adalah keharusan, bukan pilihan. Hal inilah yang harus dijawab oleh umat dengan menjadi aktivis yang bertanggung jawab demi kesejahteraan, keadilan dan sustainabilitas. Kalau umat Nabi Muhammad SAW sudah diberi kemampuan membuka 'kunci-kunci' alam semesta, tentu saja tanggung jawab mereka juga untuk menjadi khalifah di muka bumi.

Sebagai umat akhir zaman, kita adalah generasi awal dimana faktanya alam telah mengalami kerusakan yang masif yang diakibatkan tangan-tangan manusia, dan boleh jadi kitalah generasi terakhir yang benar-benar bisa memperbaiki dan mengubahnya. Ajaran agama menuntun kita untuk semakin aktif melihat pentingnya aspek sosial, kesinambungan, dan dukungan lingkungan untuk keberlangsungan peradaban. Kesadaran untuk hidup tidak egois dan memperhatikan generasi penerus.

Suatu hadits menyatakan: 'Sesungguhnya dunia itu lahan yang manis lagi hijau. Sesungguhnya Allah telah menguasakannya kepadamu sekalian' (HR Muslim). Hadits lain menyatakan: 'Tidaklah seorang muslim menanam pohon, tidak pula menanam tananam kemudian tanaman tersebut dimakan oleh burung, manusia, atau binatang melainkan menjadi sedekah baginya' (HR Bukhari).

Sebagai khalifah, kita yang masih hidup diperkenankan memanfaatkan alam namun di saat yang sama kita juga dibebani tanggung jawab untuk merawatnya. Ilmu pengetahuan dan teknologi mengarahkan kita bertindak menuju kesejahteraan, adapun nilai keimanan dan kemanusiaan 'memaksa' kita hanya melakukan hal-hal yang digariskan-Nya. ¦

Dr Iman Sugema

Dosen IE FEM IPB

Dr M Iqbal Irfany

Dosen IE-FEM IPB

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement