Rabu 07 Dec 2016 18:00 WIB

Telepon Trump Berujung Runyam

Red:

Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) baru-baru ini, tepatnya pada Jumat (2/12) lalu, melakukan percakapan dengan Presiden Taiwan Tsai Ing Wen. Melalui sambungan telepon, keduanya sepakat mempererat hubungan dan kerja sama masing-masing negara.

Percakapan yang dibuat Trump dengan Tsai menjadi yang pertama kali dilakukan oleh pemimpin AS sejak 1979 lalu. Miliarder itu mengatakan, pembicaraan yang dilakukan selama 10 menit tersebut tidak berasal dari keinginan atau inisiatif dirinya.

"Presiden Taiwan menelepon saya hari ini untuk memberi ucapan selamat atas kemenangan saya dalam pemilu. Terima kasih," ujar Trump melalui akun jejaring sosial Twitter miliknya.

Setelah percakapan itu terjadi, Kementerian Luar Negeri Cina menyampaikan surat protes kepada AS. Di dalam inti surat tersebut adalah agar negara itu tetap berpegang pada kebijakan yang mendasari hubungan diplomatik sesuai kesepakatan pada 1979 lalu dan berhati-hati dalam menangani isu terkait Taiwan.

Wakil presiden terpilih AS Mike Pence memberikan pembelaan untuk Trump. Ia mengatakan, percakapan dengan Tsai hanya sebuah panggilan resmi tanpa maksud apa pun.

Ia menjelaskan tidak ada pembahasan untuk menggeser kebijakan yang disepakati AS pada 1979. Hal itu, menurut dia, sama dengan panggilan telepon resmi dari pemimpin negara lainnya, seperti Presiden Cina Xi Jinping yang mengucapkan selamat kepada Trump.

"Panggilan ini hanya panggilan resmi yang didapatkan oleh Trump. Seperti dua pekan lalu, Presiden Xi menghubunginya dengan cara yang sama dan tidak bermaksud mendikusikan kebijakan," jelas Pence.

Meski demikian, AS dalam praktiknya sering dianggap menimbulkan sikap ambigu terhadap hubungannya dengan Cina. Di antaranya dengan melakukan kerja sama perdagangan senjata dengan Taiwan meski itu dinilai mencakup hubungan tidak resmi yang pada awalnya dimungkinkan dari ratifikasi Taiwan Relations Act. AS menekankan, upaya itu dilakukan untuk menjamin keamanan wilayah Taiwan.

Sikap yang dinilai dapat melanggar perjanjian 1979 juga kembali ditunjukkan saat AS berada di bawah kepemimpinan George W Bush. Pada 2002 lalu, Bush pernah mengeluarkan pernyataan akan melakukan apa pun agar Taiwan dapat melindungi wilayahnya dari berbagai ancaman.

Seorang mantan diplomat Belanda yang pernah mewakili kepentingan urusan Taiwan, Gerrit van der Wees juga melihat ada indikasi perubahan kebijakan luar negeri AS di era kepemimpinan Trump. Bukan tidak mungkin pria berusia 70 tahun itu tak lagi ingin terikat dalam perjanjian yang mengatur pembatasan hubungan kerja sama diplomatik dengan salah satu negara di Asia Timur tersebut.

Salahkan Taiwan

Meski menyampaikan surat protes terhadap AS atas percakapan antara Trump dan Tsai, Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi menilai Taiwan sebagai pihak yang harus disalahkan. Ia mengatakan yakin tidak ada maksud apa pun terkait perubahan kebijakan seperti yang diduga.

"Ini hanyalah Taiwan yang melakukan tindakan kecil dan tak akan mengubah kebijakan 'Satu Cina' yang telah diakui masyarakat internasional, demikian dengan AS," ujar Wang. Ia juga mengatakan, tindakan Tsai yang berupaya mendapatkan kedaulatan Taiwan adalah hal yang sia-sia.

Wang melihat kinerja pemimpin baru wilayah yang disebut sebagai provinsi oleh Cina itu sangat buruk. "Tsai hanya mengalihkan perhatian publik dari kinerjanya yang buruk dan kesalahannya yang salah menafsirkan panggilan telepon untuk Trump," jelas Wang.

Namun, dalam sebuah surat kabar nasional Cina, China Daily, Trump tampaknya tetap disalahkan karena dianggap tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan yang cukup terkait kebijakan luar negeri AS. Di sana juga dituliskan bahwa sudah seharusnya Trump dan tim transisi kepresidenannya mempelajari dan memahami dengan baik agar hal serupa tidak terjadi lagi.

"Meski tak memperlihatkan dengan jelas, tindakan Trump terjadi karena kurangnya pemahaman mengenai isu sensitif Sino-AS, juga hubungan lintas selat," ujar tulisan dalam media tersebut.

Surat kabar itu juga menyampaikan agar AS dengan cepat dan cermat menangani masalah yang terkait dengan Taiwan. Hal itu untuk menghindari timbulnya gangguan yang tidak perlu dalam hubungan dengan Cina.

Global Times, tabloid yang berada di bawah perusahaan media milik Partai Komunis Cina, mengatakan, Trump tengah melakukan gertakan tak terduga terhadap Cina. Namun, bukan berarti presiden ke-45 AS itu berniat membatalkan hubungan internasional. Ia hanya bermaksud mengambil keuntungan dengan membuat "gelombang" di kawasan Selat Taiwan.

"Trump masih mengambil keuntungan di Selat Taiwan untuk melihat apakah ia bisa mendapatkan penawaran yang menguntungkan sebelum dilantik," tulis Global Times.

Dengan tidak adanya pengalaman Trump dalam urusan diplomatik, ia dinilai tidak sadar dengan tindakannya yang mengguncang hubungan Sino-AS. Namun, Cina disebut dapat mengirim pesan untuk pengusaha properti itu agar menghukum Taiwan dan berencana melakukan penyebaran militer.

Seperti pada 2005 lalu, Cina menerbitkan undang-undang yang mengatur rencana aksi militer apabila Taiwan mengumumkan kemerdekaan di hadapan dunia. Bahkan, ancaman itu juga diperburuk dengan adanya isu tentang senjata rudal yang diarahkan ke wilayah pulau tersebut dan siap untuk ditembakkan kapan pun.  reuters ed: Yeyen Rostiyani

***

Bukan Telepon Biasa

Bagi Cina, percakapan telepon presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden Taiwan Tsai Ing Wen bukanlah sekadar hal biasa. Langkah itu dapat membuat Cina geram dan bukan tidak mungkin menimbulkan konsekuensi politik karena AS dinilai telah melanggar ketentuan dalam perjanjian diplomasi yang dibuat pada 1979.

Cina menerapkan sebuah kebijakan yang dipegang teguh sejak lama bernama One China Policy atau Kebijakan Satu Cina. Negara itu menetapkan hanya ada satu Cina yang berdaulat dan memiliki aspek legalitas sebagai negara Republik Rakyat Cina (RRC), termasuk di dalamnya adalah Taiwan yang dianggap merupakan bagian dari negara itu.

Pada 1949, untuk pertama kalinya Taiwan memisahkan diri dari Cina dan membentuk sebuah negara demokratis. Di sana dilakukan pemilihan umum yang terbuka untuk memilih pemimpin dan segala tindakan pengekangan terhadap rakyat akan ditentang dengan keras.

Namun, pada 1992, Taiwan dan Cina melalui perwakilan masing-masing pihak melakukan konsensus di Hong Kong untuk membahas kebijakan Satu Cina tersebut. Dari sana, Taiwan dikatakan seharusnya mengakui eksistensinya sebagai bagian dari wilayah RRC.

Namun, mantan presiden Taiwan Chen Shui Bian menolak mengakui kebijakan itu. Negara itu kemudian terus mengupayakan berbagai negosiasi untuk meraih kedaulatan penuh dan pengakuan sebagai satu negara yang tidak terikat dengan Cina.

Meski demikian, Cina tetap mengumumkan kepada forum internasional bahwa Taiwan selayaknya tunduk pada kebijakan satu negara. Taiwan juga disebut sudah terikat dalam konsensus yang disepakati pada pertemuan di Hong Kong tersebut dan Cina menganggap kebijakan itu sebagai status quo yang tidak dapat diganggu gugat.

Kemudian, Cina juga menetapkan satu regulasi mutlak untuk berinteraksi dengan dunia internasional. Satu ketentuan itu adalah setiap negara yang hendak menjalin hubungan diplomatik dengan Negeri Tirai Bambu harus menghindari hubungan dengan Taiwan. 

AS pada 1979 lalu di bawah kepemimpinan Presiden Jimmy Carter memutuskan untuk melakukan normalisasi dan menjalin hubungan diplomatik dengan Cina. Dengan demikian, kedua negara membuat perjanjian yang dikenal dengan nama Joint Communique yang di dalamnya menetapkan pendeklarasian terhadap Kebijakan Satu Cina.

Dengan demikian, AS secara resmi mengakui hanya ada satu Cina yang berdaulat dan Taiwan merupakan bagian kesatuan negara itu. Negeri Paman Sam juga menunjukkan komitmen dalam perjanjian itu dan menerapkan isi dari kesepakatan, yaitu menutup hubungan diplomatik dengan Taiwan dan memindahkan kedutaan besar yang sebelumnya berada di ibu kota negara itu ke Beijing, Cina.

Namun, menurut salah satu isi dalam perjanjian tersebut, hubungan tidak resmi antara warga AS dan Taiwan dapat tetap dipertahankan, di antaranya di bidang budaya, komersial, dan lainnya yang dilakukan melalui sebuah lembaga nirlaba atau tanpa perwakilan Pemerintah AS dan hubungan diplomatik formal. Lembaga ini didirikan berdasarkan hukum District of Colombia dan Institut Amerika di Taiwan (AIT). Oleh Puti Almas reuters ed: Yeyen Rostiyani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement