Rabu 26 Oct 2016 16:00 WIB

Perompak yang Kebal Hukum

Red:

Pembajakan di Somalia merupakan salah satu bentuk pembajakan yang paling unik dalam model bisnis pembajakan di dunia. Selain mendapatkan dukungan dari sebagian besar masyarakat pesisir, para perompak juga memiliki kemampuan menyandera kapal dan awaknya hingga berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.

Mereka menyimpan sandera di safe haven, atau secara harfiah diartikan sebagai tempat persembunyian, sambil menunggu diterimanya uang tebusan. Namun, kini kemampuan mereka menyandera awak kapal di safe haven telah terdegradasi karena kehadiran angkatan laut internasional yang lebih kuat serta kurangnya dukungan masyarakat internasional.

"Akibatnya, safe haven mereka menyusut secara signifikan dari garis pantai terbentang 150 km antara Haradhere dan Garcad," ujar Manager Oceans Beyond Piracy Wilayah Afrika Timur, John Steed.

Pembajakan Somalia di era modern dimulai di tengah ketidakstabilan ekonomi, setelah jatuhnya rezim Siad Barre pada 1991 di Mogadishu. Saat itu, negara-negara tetangga mulai mengambil ikan secara ilegal di perairan Somalia.

Pada awalnya para perompak adalah nelayan-nelayan yang marah dan menuntut pembayaran dari kapal-kapal asing. Namun, mereka berubah menjadi perompak sungguhan dan mengaku akan menjaga integritas wilayah Somalia sampai pemerintahan berjalan kembali

Insiden pembajakan pertama yang meminta tebusan terjadi pada 1994. Saat itu perompak Somalia membajak dua kapal SHIFCO dan meminta tebusan sebesar 500 ribu dolar AS atau Rp 6,5 juta untuk masing-masing kapal.

Membajak dengan model meminta tebusan berkembang secara signifikan pada awal 2000-an. Pada 2005, jumlah pembajakan yang dilakukan perompak meningkat tajam dari dua pembajakan menjadi 14 pembajakan dalam satu tahun.

Sejak perompak Somalia menyerang kapal-kapal komersial di lepas pantai Puntland dan Teluk Aden, laut Afrika Timur telah berubah menjadi perairan paling berbahaya di dunia. Pada 2008 saja, perompak Somalia menangkap lebih dari 40 kapal besar di Teluk Aden, jalan pintas antara Asia dan Eropa yang penting bagi kegiatan ekonomi global.

Dilansir dari the Wall Street Journal, para perompak jarang membunuh sandera-sanderanya. Mereka cenderung melakukan penyiksaan kecil jika mendapat perlawanan. Itu yang menjadi alasan angkatan laut jarang berusaha merebut kapal yang telah dibajak karena awaknya bisa terluka dalam proses penyanderaan.

Kebanyakan sandera yang meninggal dunia adalah akrena penyakit atau terpaksa ditembak karena membantu sandera lain untuk kabur. Selebihnya, para perompak tidak banyak menyebabkan pertumpahan darah.

Perompak Somalia lebih memilih menjaga tawanan mereka dalam kondisi kesehatan yang baik demi uang tebusan yang besar. Hal itu juga dilakukan untuk meningkatkan reputasi perompak agar pemerintah enggan menyerang mereka karena mereka tidak merugikan sandera.

Lebih dari itu, korban sebenarnya dari pembajakan yang dilakukan perompak Somalia adalah penduduk Somalia itu sendiri. Kapal-kapal bantuan PBB untuk Somalia dilaporkan juga menjadi target pembajakan perompak.

Padahal, sebanyak 4 juta penduduk Somalia (setengah dari jumlah penduduk seluruhnya), menggantungkan diri pada sumbangan makanan untuk bertahan hidup. Akhirnya, pada 2009, PBB menyerukan agar kapal perang Belanda, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, dan Yunani harus mengiringi kapal bantuan PBB ke Somalia.

"Jika Anda tidak didampingi, Anda tidak akan bisa memberikan makanan ke sana," ujar pejabat PBB, Lemma Jembere. Akan tetapi, kapal perang tidak selamanya tersedia, sehingga jutaan warga Somalia terancam kelaparan akibat ulah perompak mereka sendiri.

Meski demikian, tak dapat dimungkiri, pembajakan telah menjadi industri terbesar di Somalia. Dalam satu tahun, mereka bisa menghasilkan 150 juta dolar AS atau Rp 2 miliar.

Bahkan, ukuran pria sukses di sana adalah pria yang kaya raya atas hasil pembajakan. Para perompak mampu membeli properti sendiri seharga jutaan dolar di Mombasa.

Ahli tentang perompakan dari Corbett Center for Maritime Policy, Martin Murphy, mengungkapkan, sangat menarik ketika perompakan telah menjadi pekerjaan lumrah di Somalia. Menurut Murphy, hukum internasional sebenarnya melarang awak kapal sipil membawa senjata saat kapal berlayar.

Namun, wilayah operasi perompak Somalia ternyata adalah wilayah tanpa hukum. Pemerintah tidak banyak mengatur kelautan dan tidak ada hukum yang diterapkan di laut lepas. Dengan demikian, para perompak tidak bisa dibawa ke pengadilan. Bahkan, ketika tertangkap, mereka sering kali langsung dibebaskan di pantai Somalia terdekat.

Murphy menuturkan, solusi jangka panjang untuk memberantas pembajakan oleh perompak Somalia adalah sistem pemerintahan yang stabil dengan adanya peradilan fungsional.     Oleh Fira Nursya’bani/reuters, ed: Yeyen Rostiyani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement