Rabu 28 Sep 2016 17:00 WIB

Ujian Rasialisme di Charlotte

Red:

Ribuan orang di Charlotte, Carolina Utara, Amerika Serikat (AS), turun ke sepanjang jalan pada 20 September lalu. Mereka melakukan protes atas terjadinya penembakan terhadap Keith Lamont Scott, seorang pria kulit hitam, oleh petugas kepolisian di kota tersebut.

Protes penembakan Scott telah menyebabkan gelombang kekerasan di kota itu selama satu pekan lalu. Massa mengepung aparat keamanan dan kendaraan patroli.

Protes diwarnai dengan warga yang membawa spanduk. Di antaranya bertuliskan "Black lives matter", kemudian diiringi dengan teriakan "No justice, no peace". 

Pengunjuk rasa juga menuntut status darurat di Charlotte dicabut serta penarikan pasukan Garda Nasional dari kota mereka. Tuntutan lainnya adalah meminta agar pelaku penembakan diproses secara hukum.

Dalam aksinya, pengunjuk rasa melemparkan petasan dan puing-puing, salah satunya saat aksi protes dilakukan di depan Hotel Omni Charlotte. Pihak kepolisian menembakkan sejumlah peluru karet, gas air mata, dan granat cahaya untuk membubarkan demonstran.

Dalam kerusuhan tersebut, satu orang warga tewas. Ia dilaporkan ditembak saat polisi tengah membubarkan aksi protes tersebut. Dari keterangan salah satu saksi bernama Howard, korban adalah seorang pria.

"Saya melihat ia ditembak oleh aparat, tetapi saya tak mengira itu mematikan karena saya pikir itu adalah peluru karet," jelas Howard.

Namun, ia kemudian melihat pria yang ditembak itu jatuh tersungkur. Darah pun mengucur dari kepalanya dan tak ada tanda-tanda bahwa korban masih hidup.

Kematian Scott di tangan polisi kulit putih tak hanya menyoal hilangnya nyawa seorang manusia. Scott dan sang polisi telah menjadi simbol komunitas.

Scott mewakili komunitas kulit hitam dan sang polisi yang bernama Brently Vinson menjadi representasi dari aparat Amerika yang kerap dinilai sewenang-wenang terhadap warga kulit berwarna. Namun, jangan lupa, Scott dan Vinson sama-sama warga Amerika keturunan Afrika.

Menurut keterangan pihak kepolisian Charlotte, Scott harus ditembak karena mengancam keamanan. Ia ditemukan oleh petugas patroli sedang membawa ganja dan senjata api di dalam mobilnya.

"Scott dengan jelas memiliki sepucuk senjata api, ganja, dan telah melakukan kejahatan lainnya," ujar Kepala Kepolisian Charlotte Kerr Putney, dilansir BBC.

Selain itu, dalam pernyataan yang dikeluarkan oleh petugas sebelumnya, pria berusia 43 tahun itu telah menodongkan senjata. Tindakan tersebut membuat petugas merasa terancam hingga Vinson menembak Scott.

Namun, dalam rekaman video yang dirilis oleh Kepolisian Charlotte, pernyataan itu seperti terbantahkan. Di sana, Scott terlihat keluar dari mobilnya dan berjalan mundur dengan posisi tangan di bawah. Tidak tampak jelas apakah dirinya memegang sesuatu. Beberapa saat kemudian, secara tiba-tiba suara tembakan terdengar dan tubuh Scott terjatuh ke bawah.

Sepanjang rekaman tersebut, tidak ada senjata yang terlihat dimiliki atau dipegang oleh Scott. Hal itu menimbulkan pertanyaan penting yang akhirnya membuat indikasi terjadinya tindakan sewenang-wenang polisi dan mengacu pada rasialisme di AS.

Charlotte bukan yang pertama

Insiden penembakan warga kulit hitam di AS kali ini merupakan yang ketiga kalinya terjadi dalam tiga tahun terakhir. Protes demi protes yang pada akhirnya berujung bentrokan bermunculan atas dugaan sikap rasial di Negeri Paman Sam tersebut.

Seperti di Ferguson, Missouri pada Agustus 2014 lalu. Saat itu, seorang polisi kulit putih menembakkan 12 peluru kepada Michael Brown, warga keturunan Afro-Amerika.

Peristiwa ini disebut paling banyak memicu kemarahan warga kulit hitam di AS. Dari keterangan polisi, pria yang berusia 18 itu dikatakan tidak menggunakan jalan untuk pejalan kaki. Tembakan yang dikeluarkan diklaim sebagai upaya membela diri.

Namun, bukti yang ada menunjukkan Brown tidak melakukan perlawanan dengan senjata. Kerusuhan pecah dan berujung dengan pengunduran diri kepala kepolisian di wilayah itu.

Di tahun yang sama, tepatnya November, seorang anak berkulit hitam ditembak mati di Cleveland. Anak yang masih berusia 12 tahun tersebut juga ditembak oleh polisi kulit putih. Menurut pembelaan petugas itu, ia mengira mainan yang dipegang oleh korban adalah pistol sungguhan.

Pada 2015, di Baltimore terjadi insiden tewasnya seorang pria warga kulit hitam berusia 25 tahun karena tindakan polisi. Aksi protes warga pecah setelah semua petugas yang terlibat dalam peristiwa tersebut dinyatakan tidak bersalah.

Kemudian di Baton Rouge, Lousiana, dan Falcon Heights, Minnesota. Kali ini, di masing-masing tempat terjadi penembakan seorang pria warga kulit hitam oleh polisi. Penembakan keduanya dikatakan dilakukan karena memilki senjata dan tidak mengikuti instruksi petugas.

Di Tulsa, Oklahoma seorang polisi wanita melakukan penembakan terhadap pria kulit hitam. Hal itu diduga dilakukan karena ia takut terancam bahaya dan pria bernama Terence Crutcher itu tidak mengikuti instruksinya. 

Aksi protes terjadi atas tindakan yang dilakukan oleh polisi bernama Betty Shelbi tersebut. Ia dilaporkan telah didakwa dengan pembunuhan tak disengaja dengan ancaman hukuman minimal empat tahun penjara.

Kini, masyarakat kulit hitam AS menanti langkah kepolisian AS dalam memproses penembak Scott secara hukum. Jika tidak, tudingan rasialisme akan terus mendidih di tengah masyarakat AS.     Oleh Puti Almas/reuters, ed: Yeyen Rostiyani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement