Rabu 31 Aug 2016 18:00 WIB

Burkini dan Diskriminasi Kebebasan Berpakaian

Red:

Sarah Fekih bertanya-tanya mengenai larangan penggunaan burkini atau burqa bikini di sejumlah pantai wilayah negaranya. Perempuan warga Lyon, Prancis, itu mengungkapkan komentar skeptis, mengapa ada aturan terhadap apa pakaian yang ingin dikenakan olehnya.

"Apa kita tidak bisa memutuskan sendiri pakaian yang ingin digunakan pada 2016 ini? Jika seseorang ingin berbusana tertutup dari kepala hingga kaki, atau ingin berpakaian simpel, atau terbuka, bukankah itu pilihan pribadi yang tak dapat ditentukan hukum?" ujar Sarah dilansir the New York Times, Ahad (28/8).

Perdebatan tentang burkini tidak hanya muncul di kalangan para perempuan di Prancis. Negara di Eropa Barat itu menerapkan aturan mengenai penggunaan pakaian renang yang menutup seluruh bagian tubuh hingga kepala (kecuali wajah) dan biasanya digunakan oleh Muslimah.

Salah satu perancang burkini adalah desainer asal Australia, Aheda Zanetti. Baju olahraga khusus yang dibuatnya untuk berenang yang menutupi seluruh tubuh dan bagian kepala itu dikatakan olehnya hanya sebagai bagian dari mode dan bukan semata-mata hanya untuk dikenakan para Muslimah.

Zanetti menjelaskan, semua kalangan yang memang menginginkan ataupun membutuhkan dapat memakai pakaian olahraga tersebut. Salah satunya adalah mereka yang memiliki kulit sensitif, atau bahkan memiliki penyakit kanker kulit dan tidak dapat terpapar matahari secara langsung.

"Saya ingin semua orang bisa memakai pakaian ini, seperti seseorang dengan penyakit kanker kulit atau ibu baru melahirkan yang belum percaya diri memakai bikini. Burkini bukan berarti simbol Islam," ujar Zanetti dilansir the Guardian.

Penjelasan dari Zanetti tentu bertentangan dengan alasan larangan penggunaan burkini di Prancis. Pemerintah negara itu menilai burkini sebagai simbol keagamaan dan tak sesuai dengan hukum sekularisme yang ditetapkan.

Hal ini juga yang membuat segala sesuatu yang berkaitan dengan Islam dipandang sebagai ancaman oleh sebagian orang di negara itu. Sebagai upaya melindungi kepentingan publik, banyak wali kota di Prancis yang menyetujui aturan larangan penggunaan burkini.

Aturan ini pertama kalinya secara tegas ditetapkan di salah satu kota di wilayah selatan Prancis, Cannes. Wali Kota David Lisnad mengatakan, burkini memperlihatkan pemihakan kepada agama tertentu dengan jelas. Hal ini dapat memicu keresahan karena belakangan negara itu menjadi sasaran kelompok radikal Islam.

Salah satu serangan yang membuat aturan ini diberlakukan setelah adanya insiden truk di Nice, sekitar 20 mil dari Cannes. Saat itu, seorang sopir truk menabrak kerumunan orang yang tengah merayakan Bastille Day pada 14 Juli lalu. Sebanyak 86 orang tewas dan 300 lainnya terluka dalam peristiwa yang diklaim dilakukan oleh Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) tersebut.

Dalam waktu kurang dari satu bulan pascakejadian tersebut, setidaknya terdapat 30 larangan penggunaan burkini di sejumlah pantai wilayah Prancis. Di sana, siapa pun yang secara terang-terangan menggunakan jenis pakaian renang itu di kawasan pantai dan berenang akan didenda sebesar 38 euro atau Rp 550 ribu. Aturan ini dilaporkan masih akan berlaku hingga 31 Agustus.

Denda tetap berlaku

Atas gugatan Liga Hak Asasi Manusia, pengadilan Prancis yaitu, Conseil d'Etat atau Dewan Negara, menelaah larangan burkini. Mereka akhirnya memutuskan mencabut larangan tersebut untuk satu kota, Villeneuve-Loubet. Dalam keputusan pengadilan tersebut, larangan pemakaian burkini secara nyata melanggar kebebasan fundamental dan berkeyakinan yang dimiliki setiap individu.

Keputusan itu dapat menjadi preseden bagi 30 kota lainnya yang telah menerapkan aturan serupa. Namun, bukan berarti perdebatan tentang jenis pakaian olahraga ini selesai. Perdebatan di sejumlah kalangan, hingga pengadilan membuat keputusan final terhadap legalitas burkini tampaknya akan terus berlanjut.

Parlemen Prancis disebut dapat terus memberlakukan larangan burkini. Demikian dengan beberapa kandidat presiden dan politikus sayap kanan yang salah satunya mungkin terpilih dalam pemilihan 2017 mendatang. Mereka berjanji untuk terus memberlakukan langkah sekularisme di negara itu, salah satunya agar penggunaan jilbab di sekolah hingga bidang bisnis, serta simbol agama lainnya dilarang di masyarakat.

Sebagai perdebatan yang terus berlanjut, banyak yang mengaitkan Prancis dan rasialisme yang muncul di negara itu terhadap Islam. Sebelumnya, Prancis telah melarang pemakaian burqa di tempat umum pada 2004 lalu. Kemudian, pada April 2011, pemerintah negara itu sepenuhnya melarang pemakaian burqa yang menutup seluruh wajah di tempat-tempat umum.

Bagi perempuan yang mengenakannya, akan dihukum dengan membayar denda sebesar 150 euro atau sekitar Rp 2,2 juta. Prancis menjadi negara pertama di Eropa yang melarang pemakaian burqa atau jilbab yang menutup seluruh wajah penuh. Selain itu, penggunaan niqab, atau jilbab yang menutupi sebagian muka, juga tidak diperbolehkan.

Tak sedikit yang menilai bahwa hal ini dilakukan untuk mencegah pertumbuhan Islam di negara tersebut. Namun, larangan penggunaan burkini yang mencuat di tengah masyarakat internasional menimbulkan pandangan bahwa kebebasan perempuan untuk memilih pakaian yang ingin dikenakannya, termasuk juga mengekpresikan diri terancam. Berbagai komunitas Muslim dan hak asasi manusia di seluruh dunia juga menilai bahwa aturan itu sangat tidak adil karena menargetkan penganut agama tertentu, yakni Islam.

Sepanjang sejarah yang ada, cara perempuan berpakaian kerap dipengaruhi oleh norma sosial yang berlaku dalam suatu wilayah. Prancis saat ini menganggap dan menuntut bahwa kaum Hawa seharusnya menanggalkan pakaian mereka.

Hal ini tentu jauh berbeda dengan aturan yang dahulu ditetapkan mengenai penggunaan bikini di Italia. Bikini, pakaian renang terbuka yang hanya menutup bagian intim perempuan, dinilai tidak sopan dan bertentangan dengan moral untuk dikenakan di tempat umum.

Tak hanya itu, Spanyol dan beberapa pantai di Atlantik Prancis juga pernah melarang penggunaan bikini yang dilihat sebagai tanda lemahnya penegakan moral di suatu wilayah atau daerah. Hal ini terjadi dalam beberapa tahun pertama penjualan bikini di seluruh dunia.

Seorang mahasiswi pascasarjana sosiologi di Universitas Strasbourg, Hanane Karimi, mengatakan, seharusnya Prancis menghargai perempuan yang memiliki prinsip tertentu dalam berpakaian, salah satunya dengan mengacu pada agama yang mereka anut. Terlebih, jika negara sekuler itu ingin lebih terlibat dalam urusan agama.

Ia menjelaskan, di beberapa negara yang memiliki religiositas kuat, seperti Italia, mengatur pakaian perempuan adalah bagian dari moralitas. Seperti di Prancis, yang saat ini menetapkan sekularitas dan menganggap kontrol atas pakaian juga mereka miliki.

"Jika Italia berada di pengaruh Vatikan, agar moralitas terjaga, jadi perempuan harus berpakaian lebih tertutup, sementara Prancis menganggap moralitas yang berlaku di negaranya kini adalah harus menanggalkan pakaian," ujar Karimi.    Oleh Puti Almas/reuters/ap, ed: Yeyen Rostiyani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement