Selasa 30 Aug 2016 18:00 WIB

Cazeneuve dan Tokoh Muslim Bahas Burkini

Red:

PARIS -- Menteri Dalam Negeri Prancis Bernard Cazeneuve dijadwalkan bertemu para tokoh Muslim Prancis serta para ahli dan anggota parlemen, Senin (29/8). Pertemuan itu untuk memperbaiki hubungan Islam dan Pemerintah Prancis yang akhir-akhir ini menegang akibat larangan burkini.

Menjelang pertemuan tersebut, Cazeneuve mengatakan kepada harian La Croix, Ahad (28/8), larangan mengenakan burkini di Prancis hanya akan meningkatkan ketegangan antarkelompok masyarakat. Larangan itu dinilainya tidak konstitusional dan tidak efektif. Kementerian yang dipimpin Cazeneuve bertanggung jawab mengurusi masalah keyakinan.

Pelarangan burkini menjadi simbol ketegangan mengenai posisi Islam di tengah masyarakat Prancis yang sekuler. Topik ini juga memancing debat panas yang menyebabkan perbedaan pandangan antarmenteri dalam kabinet pemerintah.

Mantan presiden Nicolas Sarkozy yang ingin masuk kembali ke panggung politik Prancis, menyerukan adanya peraturan yang mengizinkan pejabat setingkat wali kota untuk melarang pemakaian burkini. Namun, menurut Cazeneuve, peraturan semacam itu tidaklah memungkinkan bagi pemerintahan sosialis. 

"Pemerintah ... menentang mengeluarkan peraturan mengenai hal ini karena itu akan tidak konstitusional, tidak efektif, dan cenderung menciptakan antagonisme dan ketegangan yang sulit diredakan," ujarnya kepada La Croix.

"Kita tidak perlu peraturan baru. Peraturan yang ada saat ini pun sudah jelas memaparkan sekularime Prancis," kata dia menegaskan.

Cazeneuve mengatakan, ia ingin menciptakan yayasan untuk membantu mempromosikan "Islam Prancis" yang menghormati nilai-nilai sekuler Prancis. Yayasan itu akan membiayai pendidikan dan proyek budaya serta pelatihan para imam di luar materi keagamaan, misalnya, tentang sejarah kelas keagamaan.

Isu burkini menjadi amunisi politik menjelang awal kampanye pemilihan presiden (pilpres) di Prancis yang akan digelar 2017. Sejumlah pemimpin sayap kanan dan ekstrem kanan menyerukan larngan burkini yang dikenakan sejumlah Muslimah.

Debat meletup setelah ada foto-foto yang menunjukkan sejumlah polisi meminta seorang wanita untuk membuka burkininya saat ia sedang berada di pantai di Nice.

Kontroversi itu, ditambah serangan teroris di Prancis sejak Januari 2015, mengangkat isu identitas budaya Prancis dan masalah keamanan dalam debat-debat politik.

"Prancis memerlukan penyembuhan dan persatuan rakyatnya, bukan ledakan yang memecah belah oleh pihak-pihak yang bersaing," kata Cazeneuve.

Pada Jumat (26/8), Conseil d'Etat atau Dewan Negara memutuskan untuk menentang larangan burkini yang diberlakukan wali kota di Villeneuve-Loubet. Keputusan tersebut diperkirakan akan menjadi preseden bagi belasan kota di Prancis yang juga memerintahkan pelarangan burkini.

Dengan keluarnya keputusan Conseil d'Etat, kota-kota di Prancis tidak boleh lagi memberlakukan pelarangan burkini.

Namun, Wali Kota Sisco Ange-Pierre Vivoni mengatakan, tidak akan mencabut larangan burkini. "Di sini ada ketegangan yang amat, amat, amat tinggi dan saya tidak akan mundur."

Sementara, pengacara yang mewakili Liga Hak Asasi Manusia, Patrice Spinosi, mengatakan, wanita pemakai burkini yang sudah dihukum untuk membayar denda kini dapat menggugat dengan menggunakan keputusan Conseil d'Etat sebagai landasan hukum. Ia juga akan menggugat setiap wali kota yang tetap memberlakukan larangan burkini.

"Keputusan tersebut berarti menjadi preseden hukum," ujar Spinosi. Bagi mereka yang tidak mengikuti keputusan tersebut, katanya, "Bisa diambil tindakan hukum."

Sementara, Amnesty International memuji keputusan yang diambil Conseil d'Etat. Ia menyebut, larangan burkini yang ditetapkan sejumlah pemerintah daerah mengarah pada "penyalahgunaan dan perlakuan tidak setara terhadap wanita dan anak-anak gadis Muslim."     reuters/ap, ed: Yeyen Rostiyani 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement