Rabu 27 Jul 2016 16:00 WIB

Serba-serbi Pengadilan Internasional

Red:

Sengketa kerap terjadi dalam suatu hubungan, termasuk hubungan internasional. Suatu sengketa internasional dapat berujung pada perang, perang dingin ataupun bukan perang, tergantung dari luas atau dalamnya sengketa tersebut.

Untuk menghindari terjadinya hal yang tidak diharapkan, sengketa internasional perlu mekanisme penyelesaian. Sebagaimana dambaan masyarakat internasional, penyelesaian sengketa perlu dilakukan seadil-adilnya. Sebagai organisasi yang menaungi negara-negara dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membuat beberapa pengadilan di bawah naungannya.

Negara anggota PBB telah menetapkan tiga pengadilan hukum, yakni International Court of Justice (ICJ) atau Mahkamah Internasional, International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Kejahatan Internasional, dan International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS) atau Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut.

ICJ didirikan oleh Piagam PBB yang ditandatangani pada 26 Juni 1945. Ini adalah badan peradilan utama dalam keluarga PBB dan memiliki yurisdiksi di antara hal-hal lain, pertanyaan yang berkaitan dengan Piagam PBB, penafsiran perjanjian internasional, pertanyaan hukum internasional, pelanggaran hukum internasional, dan sifat serta tingkat kompensasi dalam hal pelanggaran kewajiban di bawah hukum internasional.

ICC yang berbasis di Den Haag, Belanda, didirikan untuk membantu mengakhiri masalah kekebalan hukum dan pelanggaran berat atas hukum kemanusiaan internasional. Pengadilan ini menangani kejahatan internasional berat, seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang. ICC hanya akan bertindak ketika negara-negara yang bersangkutan tidak mampu atau tidak mau untuk menyelidiki atau menuntut pelaku kejahatan atas hukum kemanusiaan internasional.

Selanjutnya, PBB telah menciptakan dua pengadilan tidak tetap lainnya untuk menangani kejahatan perang dan genosida tertentu. International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) diciptakan untuk mengadili orang yang dianggap bertanggung jawab atas kejahatan perang di Balkan selama konflik pada 1990-an. Ada pula International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR). Pengadilan ini diciptakan untuk orang-orang yang dianggap bertanggung jawab atas tindakan genosida dan pelanggaran serius atas hukum humaniter internasional yang dilakukan di wilayah Rwanda antara 1 Januari dan 31 Desember 1994.

Terlepas dari pengadilan internasional dan pengadilan, ada beberapa badan penyelesaian perselisihan lainnya, khususnya World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia dan Permanent Court of Arbitration (PCA). Penyelesaian sengketa WTO diatur oleh nota kesepakatan yang ditandatangani di Marakesh pada 1994 setelah negosiasi Uruguay. Memorandum menempatkan penekanan pada konsultasi dan menetapkan tenggat waktu yang ketat untuk menyelesaikan sengketa. WTO berbasis di Jenewa, Swiss.

Seperti tertera dalam laman situs pca-cpa.org, PCA atau yang dikenal Pengadilan Tetap Arbitrase adalah lembaga global tertua untuk penyelesaian sengketa internasional. PCA merupakan organisasi antarpemerintah yang terletak di Den Haag, Belanda. Pengadilan ini menawarkan berbagai layanan untuk penyelesaian sengketa internasional di mana pihak bersangkutan telah secara tegas setuju menyerahkan resolusi yang bernaung di dalamnya.

PCA sebenarnya bukan pengadilan, melainkan birokrasi yang menyediakan jasa sidang arbitrase penyelesaian sengketa antara negara-negara, organisasi internasional, atau pihak swasta yang timbul dari perjanjian internasional. Beberapa kasus masalah hukum yang ditangani PCA melibatkan batas-batas teritorial dan maritim, kedaulatan, hak asasi manusia, investasi internasional, dan perdagangan internasional serta regional.

Berbeda dengan Mahkamah Internasional yang merupakan cabang yudisial utama PBB, Pengadilan Tetap Arbitrase tidak memiliki hakim duduk, para pihak memilih sendiri arbiternya. Perbedaan lain adalah sesi Pengadilan Tetap Arbitrase dilakukan secara tertutup dan bersifat rahasia.

PCA tetap bisa melakukan sidang meski salah satu pihak tidak hadir ataupun menunjuk seorang arbiter, seperti yang dilakukan Cina terhadap tuntutan Filipina terkait klaim Laut Cina Selatan. Namun, PCA tetap melakukan sidang dan menyampaikan hasilnya kepada kedua negara, pers, dan mengunggahnya dalam laman PCA. Penegakan hukum PCA memang lemah, tapi siapa pun memiliki kewajiban moral untuk mematuhi hasil putusan pengadilan. Terlebih, pengadilan yang lahir sebagai hasil jerih payah Konferensi Perdamaian Den Haag pada 1889 dan 1907 ini memegang prinsip penyelesaian sengketa secara damai. Oleh Melisa Riska Putri, ed: Yeyen Rostiyani

Arbitrase untuk Laut Cina Selatan

Pengadilan Tetap Arbitrase (Permanent Court of Arbitration atau PCA) mulai menarik perhatian publik ketika baru-baru ini memutuskan bahwa nine-dash line yang diklaim Cina tidak sesuai dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang diatur dalam Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut (UNCLOS). Tindakan Cina adalah ilegal. Tidak ada dasar hukum bagi Cina untuk menuntut hak-hak tradisional untuk sumber daya dalam wilayah laut yang termasuk dalam nine-dash line.

Sebelumnya, Filipina di bawah pemerintahan Presiden Benigno Aquino III mengajukan tuntutan terhadap klaim Cina di Laut Cina Selatan ke PCA. Dilansir dari Huffington Post, Cina yang merupakan salah satu negara pertama penanda tangan konvensi justru mengambil sikap menentang putusan. Cina menyampaikan nada agresif dalam menanggapi keputusan, bahkan sejak prakeputusan, menolak mengambil bagian dalam proses pengadilan.

Cina mengatakan, PCA tidak kompeten dengan penanganan kasus Laut Cina Selatan. Mereka juga menganggap putusan merupakan konspirasi Barat terhadap kenaikan negara itu sebagai kekuatan global.

UNCLOS yang mulai berlaku pada 16 November 1994 merupakan perjanjian internasional menyediakan kerangka peraturan untuk penggunaan laut di perairan dunia dan lautan. Konvensi ini, antara lain, untuk memastikan konservasi dan penggunaan yang adil dari sumber daya dan lingkungan laut dan untuk menjamin perlindungan dan pelestarian sumber daya hayati laut.

UNCLOS, seperti dilansir dari laman PBB, juga membahas hal-hal lainnya, seperti kedaulatan, hak-hak penggunaan dalam zona maritim, dan hak-hak navigasi. Pada 10 Januari 2014, sebanyak 166 negara telah meratifikasi, menyetujui atau menyuksesi UNCLOS. Sebanyak 167 negara dan 27 negara dari Uni Eropa termasuk dalam UNCLOS.

Sengketa terkait UNCLOS dapat diselesaikan dengan berbagai cara. Berdasarkan Pasal 287 (1) UNCLOS, terdapat beberapa cara untuk menyelesaikan sengketa. ITLOS di Hamburg, Jerman; ICJ di Den Haag, Belanda; ad hoc arbitrase (sesuai dengan Annex VII UNCLOS); atau arbitrase khusus yang dibentuk untuk kategori sengketa tertentu. Namun, penyelesaian melalui arbitrase sesuai Annex adalah yang disarankan, sesuai Pasal 287 (3) UNCLOS.

Tran Viet Thai, wakil direktur Institut Studi Strategis, lembaga penelitian Vietnam, menjelaskan putusan arbitrase sangat penting karena secara teoretis setidaknya harus membantu menyelesaikan sengketa, menegakkan hukum, dan memperjelas sikap semua pihak. "Tapi, pada saat ini, itu bukan tongkat sihir. Itu bukan solusi untuk segala sesuatu, melainkan perlu dikombinasikan dengan langkah-langkah lain," katanya.

Sikap ASEAN

Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) sebagai blok yang terlibat langsung dengan sengketa Laut Cina Selatan perlu mengambil sikap tegas terhadap ekspansi teritorial Cina. Belum lama ini, para menteri luar negeri 10 negara anggota ASEAN mengadakan pertemuan di Vientiane, Laos, kurang dari dua pekan setelah keputusan PCA. Dalam pertemuan tersebut, diharapkan akan muncul pernyataan tegas tentang Laut Cina Selatan. Sayangnya, upaya menegur Cina di ASEAN terhalang sekutunya, Kamboja dan Laos.

Dalam pernyataannya, para menteri ASEAN mengatakan bahwa mereka tetap prihatin atas perkembangan terakhir dan berkelanjutan. "Kami menegaskan kembali pentingnya menjaga dan mempromosikan perdamaian, keamanan, stabilitas, keamanan dan kebebasan navigasi di atas Laut Cina Selatan," katanya.

Pernyataan itu adalah kemenangan bagi Cina, yang telah menggunakan setiap otot diplomatik dalam kekuasaannya untuk mencegah kritik terhadap tindakannya. Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi mengatakan, pertemuannya dengan diplomat ASEAN dilakukan atas dasar saling menghormati, saling percaya, dan dalam semangat yang positif.

Ia mengatakan, 80 persen dari waktu pertemuan dihabiskan untuk membahas kerja sama. "Beberapa anggota juga membuat pernyataan tentang situasi di Laut Cina Selatan. Saya akan mengatakan diskusi itu sekitar 20 persen dari waktu kami," katanya.

Wang mengatakan bahwa dalam pertemuannya dengan para menteri ASEAN, hanya satu negara yang menyebutkan kasus arbitrase. "Itu sebabnya ASEAN mengatakan tidak memiliki komentar pada kasus arbitrase," ujarnya.    rep: Melisa Riska Putri/reuters/ap, ed: Yeyen Rostiyani

Permohonan Arbritase

Pengadilan Tetap Arbitrase (Permanent Court of Arbitration atau PCA) berusia 117 tahun. Namun, hingga kini hanya ada 16 permintaan arbitrase yang diterima. Berikut daftar kasus yang diselesaikan PCA:

- Pious Fund of the Californias (1902)

- Kasus Savarkar (1911)

- Kasus Pulau Palmas (1928)

- Pada awal 1980-an, PCA membantu mendirikan layanan administrasi pengadilan klaim Iran-Amerika Serikat.

- Konflik Kepulauan Hanish (1998 dan 1999)

- Keputusan mengenai delimitasi perbatasan antara Negara Eritrea dan Pemerintah Republik Federal Demokratik Ethiopia (2002)

- Iron Rhine (antara Belgia dan Belanda) (2005)

- Barbados melawan Trinidad and Tobago (2006)

- Arbitrase Abyei (2009)

- Hulley Enterprises Limited (Siprus), Yukos Universal Limited (Isle of Man) dan Veteran Petroleum Limited (Siprus) vs Federasi Rusia (2014)

- Teluk Benggala Maritime Boundary (Bangladesh vs India) (2014)

- Pemegang saham Yukos vs Rusia (18 Juli 2014)

- Mauritius vs United Kingdom terkait Kelautan Area Chagos (18 Maret 2015)

- Filippina vs Cina terkait sengketa Laut Cina Selatan (12 Juli 2016)

- Sengketa perbatasan Kroasia–Slovenia (masih ditunda)

- Kasus Enrica Lexie yaitu antara Italia dan India (masih ditunda)

  rep: Melisa Riska Putri/reuters, ed: Yeyen Rostiyani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement