Selasa 19 Jul 2016 17:00 WIB

Sarkozy Kritik Pemerintah

Red:

PARIS -- Mantan presiden Prancis Nicolas Sarkorzy mengkritik kinerja Pemerintah Prancis yang dinilainya tidak sigap dalam menjamin keamanan negara. Kritik ini terkait dengan rangkaian insiden serangan teroris yang terjadi, termasuk di Nice.

Ia meminta agar setiap orang, khususnya warga negara asing yang datang ke Prancis untuk diselidiki secara lebih lanjut. Hal itu untuk mengantisipasi apakah mereka terkait dengan kelompok radikal.

"Setiap warga negara asing yang terkait dengan kelompok radikal harus diusir dari Prancis," ujar Sarkozy dilansir BBC, Senin (18/7).

Selain itu, ia juga meminta agar orang-orang yang terlihat berpotensi terkait dengan kelompok radikal untuk ditandai. Dengan demikian, jika terjadi serangan teroris maka mereka dapat dicari dengan mudah.

Baru-baru ini, Prancis menghadapi serangan teroris yang berlangsung di Nice. Sebuah truk yang dikemudikan pelaku, Mohamed Lahouaiej Bouhlel, melaju kencang menabrak kerumunan orang saat merayakan Bastille Day. Setidaknya, 84 orang tewas dalam peristiwa tersebut. Sebelumnya, pada November lalu serangan bom terjadi di Paris.

Kirim foto diri

Pelaku serangan di Nice, Bouhlel, dilaporkan sempat mengirimkan foto dengan pose tertawa beberapa saat sebelum peristiwa mengerikan itu terjadi. Adik laki-laki dari pelaku menceritakan hal ini.

Dari keterangan yang didapatkan dari saudara laki-laki Bouhlel, adiknya tengah merayakan hari libur nasional Prancis bersama dengan teman-temannya. Pria bernama Jabeur ini pun mendapat kiriman foto yang menunjukkan keceriaan kakaknya dalam foto tersebut.

"Ketika itu, dia (Bouhlel) mengatakan saat itu adalah hari terakhir dirinya berada di Nice bersama teman-teman dari Eropa untuk merayakan hari nasional Prancis. Dia terlihat sangat bahagia dalam foto," ujar Jabeur, Senin (18/7).

Beberapa hari sebelum melakukan serangan, Bouhlel juga dilaporkan mengirim sejumlah uang untuk keluarganya di Tunisia. Menurut Jabeur, uang tersebut tidaklah sedikit, yaitu sebesar 84 ribu poundsterling atau setara dengan 1,5 miliar rupiah.

"Dia (Bouhlel) mengirimkan semua uang dalam tabungannya kepada kami. Itu didapat dari hasil kerjanya di Prancis selama ini," jelas Jabeur.

Setelah insiden itu, polisi Prancis melakukan penangkapan terhadap dua orang laki-laki dan perempuan. Mereka diketahui berasal dari Albania dan dekat dengan Bouhlel.

Sebanyak empat orang yang juga diduga terkait dengan peristiwa ini sebelumnya juga ditangkap, salah satunya mantan istri Bouhlel. Hingga kini, mereka dilaporkan masih berada dalam tahanan kecuali mantan istri pelaku yang dibebaskan pada Jumat (15/7).

Orang-orang yang ditahan ini dilaporkan telah membantu Bouhlel dalam melakukan aksi serangan mematikan tersebut. Salah satu bukti didapat melalui pesan dari pelaku berisi ucapan terima kasih karena telah menyediakan senjata kepada salah satunya.

Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) telah mengklaim berada di balik serangan Nice. Kelompok militan itu mengatakan bahwa Bouhlel merupakan salah satu anggota mereka.

Sementara, paman Bouhlel bernama Sadok Bouhlel mengatakan, keponakannya itu mendapat indoktrinasi sekitar dua pekan lalu oleh seorang anggota ISIS dari Aljazair. Sang paman yang tinggal di Tunisia ini mengaku mengetahui indoktrinasi itu dari kerabatnya yang tinggal di Nice.

Namun, Menteri dalam Negeri Prancis Bernard Cazeneuve mengatakan, Senin (18/7), para penyelidik belum menemukan kaitan Bouhlel dengan jaringan tertentu. Hingga kini, penyelidikan masih terus berlangsung. Sementara, Perdana Menteri Prancis Manuel Valls mengatakan, tidak ada yang diragukan terkait motif serangan oleh pelaku.

"Penyelidikan akan menunjukkan fakta yang ada. Meski belum diketahui secara pasti kepada siapa pelaku terkait, kami bisa melihat dia memiliki paham radikal," jelas Valls kepada surat kabar Le Journal du Dimanche.

Bouhlel diketahui berasal dari Tunisia. Pria berusia 31 ini juga dilaporkan bekerja sebagai sopir pada sebuah jasa pengiriman barang. Bouhlel sebelumnya dikatakan pernah terlibat dalam kejahatan, seperti penyalahgunaan senjata dan kekerasan di Prancis. Tapi, belum ada bukti yang menunjukkan bahwa dirinya terkait dengan aktivitas teroris.

Sebelum menuju Nice, Bouhlel diyakini telah menaruh truk yang digunakan saat peristiwa penyerangan berlangsung di Saint Laurent du Var. Ia kemudian berkendara ke lokasi kejadian, tepatnya di sekitar pinggir laut Promenade Les Anglais dengan melewati bukit dari sisi kota.

Sejumlah orang yang mengenal Bouhlel mengatakan bahwa dirinya selama ini memiliki perilaku yang bertentangan dengan ajaran Islam. Ia dikatakan sering mengonsumsi alkohol dan ganja.

Sementara itu, saudara perempuan Bouhlel sempat mengungkapkan bahwa pria tersebut memiliki kondisi kejiwaan yang tidak stabil. Hal itu terlihat saat dirinya hendak meninggalkan Tunisia untuk hidup di Prancis pada 2005.     rep: Puti Almas/reuters/ap, ed: Yeyen Rostiyani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement