Rabu 13 Jul 2016 18:00 WIB

Kontroversi Robot Pembasmi Kejahatan

Red:

Kasus penembakan di Dallas, Amerika Serikat (AS), beberapa waktu lalu, masih menjadi pembicaraan hangat. Tindakan Kepolisian Dallas menggunakan robot pembawa bom untuk membunuh para pelaku yang menewaskan lima polisi pun memicu kontroversi.

Terutama, dari segi etika penggunaan teknologi sebagai senjata kejahatan. The killer robot atau robot pembunuh tersebut dirancang membawa bom saat mendekati target Micah Xavier Johnson.

Johnson merupakan mantan veteran yang juga penembak jitu. Johnson menembak lima polisi Dallas dari sebuah area parkir. Untuk menjangkau pelaku penembakan, Kepolisian Dallas terpaksa mengguna robot pembawa bom yang akhirnya meregang nyawa Johnson.

Tindakan tersebut juga membuka babak baru bagi dunia Kepolisian dalam penggunaan perangkat mode atau semiotonom dalam melawan kejahatan. Perdebatan pun terjadi di kalangan para ahli teknologi.

Sebagian mereka setuju teknologi digunakan dalam situasi tersebut, tapi ada pula yang kontra. Dilansir melalui abcnews.go.com, Elizabeth Yoh, seorang Profesor yang meneliti penegakan hukum AS dengan penggunaan teknologi, setuju dengan tindakan Kepolisian Dallas tersebut. "Robot mematikan tersebut bisa digunakan dalam situasi tersebut, jika tidak digunakan saat itu, lantas kapan lagi?" jelas Yoh.

Kepala Kepolisian Dallas David Brown juga membela keputusan departemennya. Keputusan tersebut dilakukan agar tidak terjadi hal lain yang membahayakan awak kepolisian lainnya saat menangkap pelaku.

Bahkan, tindakan tersebut juga mendapat 'tepuk tangan' dari Wali Kota Dallas Mike Rawlings. Saat tak ada cara lain, teknologi bisa digunakan dan menjadi contoh yang bagus. Inti penggunaan robot tersebut untuk menjaga polisi lainnya dari bahaya atau risiko lebih besar yang mungkin terjadi.

Meski demikian, para ahli militer justru berpandangan berbeda terhadap penggunaan robot. Robot sudah digunakan dalam militer sejak lama.

Tujuan utama penggunaan robot dalam militer bukan sebagai senjata pembunuh, melainkan untuk mendeteksi dan menjinakkan bom agar bisa menyelamatkan nyawa manusia. "Robot militer masih belum cukup matang untuk melakukan tindakan ofensif, tapi terbaik dalam pengintaian," kata Tom Gorup, seorang veteran infanteri dari Irak dan Afghanistan yang kini menjabat di sebuah perusahaan IT khusus keamanan bernama Rook Security.

Mantan wakil kepala polisi New York Nassau County William Flanagan menjelaskan, robot yang bekerja untuk kepolisian di berbagai negara biasanya berukuran kecil hingga besar. Beberapa robot dilengkapi dengan kamera dan alat komunikasi dua arah.

Melahirkan dilema baru

Seorang perancang robot MARCbot William Cohen mengungkapkan, teknologi robot dibangun untuk menyelamatkan manusia dan bukan sebaliknya. Ia merasa lega tersangka bersenjata tersebut bisa ditangani pihak kepolisian tanpa merugikan nyawa polisi lain.

Namun, Cohen justru khawatir tentang masa depan robot yang digunakan sebagai senjata pembunuh. "Ini membuka babak baru perihal teknologi robot, tapi juga menimbulkan pertanyaan bagi kita mengenai penyelesaian kejahatan dalam situasi tersebut," ungkap Cohen.

Akan ada dilema saat polisi terus berupaya melakukan negosiasi dengan pelaku atau justru mengakhirinya dengan teknologi pembunuh.

Penggunaan teknologi dalam dunia militer tak hanya sebatas robot pembunuh. Kemajuan teknologi juga bisa digunakan dalam mendukung berbagai aktivitas militer lainnya.

Beberapa waktu lalu, US Navy melengkapi alat selam mereka dengan helm menyelam berkemampuan augmented reality (AR). Alat selam bernama Divers Augmented Vision Display (DAVD) tersebut merupakan generasi terkini yang bisa digunakan untuk menyelesaikan misi bawah air.

Dilansir melalui Livescience.com, DAVD memiliki kaca helm resolusi tinggi. Fungsinya, helm bisa melihat berbagai objek secara jelas yang tak dapat dilakukan dengan mata manusia.

Bagi para US Navy, helm selam tersebut akan membantu mereka mendapatkan data dari objek yang dilihat secara real time. Data tersebut akan tersimpan dalam bentuk diagram hingga pesan singkat.

Alat tersebut bisa digunakan untuk misi konstruksi bawah laut hingga perawatan. Bentuknya yang menutupi kepala secara menyeluruh juga berfungsi sebagai pelindung.

Menurut US Navy, alat ini pertama kali digunakan oleh para penyelam komersial. Rencananya, alat akan dilakukan uji coba oleh US Navy pada Oktober mendatang. Sementara, produksinya akan siap tahun depan. rep: Nora azizah  ed: Setyanavidita Livikacansera

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement