Rabu 29 Jun 2016 15:00 WIB

UNICEF: Jutaan Anak Terancam Kematian Dini pada 2030

Red:

Setiap hari, Birhanu Haftu berjalan sekitar empat jam untuk mengambil air di wilayah Tigray, Ethiopia, Afrika. Anak berusia 13 tahun itu merupakan satu dari banyak lainnya yang mengalami bencana kekeringan pada tahun ini.

Haftu juga menjadi salah satu anak-anak di Afrika yang berjuang melawan kemiskinan. Sebanyak 247 juta anak di benua itu mengalami kemiskinan, yang membuat mereka sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, terlebih melanjutkan pendidikan dasar.

"Di pagi hingga siang hari aku berusaha mengambil air bersih dengan menggunakan jerigen. Kemudian, di malam hari aku tak lagi belajar karena merasa terlalu lelah," ujar Haftu, dilansir Aljazirah, Selasa (28/6).

Dalam sebuah laporan yang dirilis oleh Badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk Anak-anak atau UNICEF, sebanyak 69 juta anak-anak dapat meninggal pada 2030. Bahkan, ini terjadi pada mereka yang berusia kurang dari lima tahun. Penyebabnya adalah jika para pemimpin politik gagal mengatasi kesenjangan global.

Anak-anak yang terkena kesenjangan global di antaranya karena mengalami konflik kekerasan, bencana alam, krisis kesehatan, serta berbagai keadaan darurat lain yang terjadi di suatu wilayah. Setengah dari mereka tercatat berada di Afrika.

Angola menjadi salah satu negara yang berada di puncak jumlah anak-anak yang mengalami kesenjangan. Sebanyak 157 dari 1000 anak berusia di bawah lima tahun mengalami kematian di sana pada 2015 lalu.

Begitu pun dengan Chad, di negara ini 139 anak mengalami kematian. Kemudian diikuti oleh Somalia sebanyak 137. Selain itu, 167 juta anak juga menghadapi kemiskinan parah.

Banyak dari anak-anak yang juga masa depannya terancam akibat pernikahan dini. Tercatat 750 juta anak di Afrika rentan menjadi pengantin di usia yang jauh dari normal.

"Jika kita menyangkal, jutaan anak akan terancam masa depannya dengan melihat seolah kehidupan ini adil baginya. Tentu sangat berbahaya," ujar Direktur Eksekutif UNICEF, Anthony Lake, dalam laporan tersebut.

Ia juga menjelaskan bahwa hal ini dapat memicu terjadinya siklus antargenerasi yang merugikan. Masyarakat secara keseluruhan yang berada di wilayah tempat kesenjangan terjadi juga terkena dampak negatif, yang mempertaruhkan masa depan bangsa secara keseluruhan.

"Kami hanya memiliki pilihan dengan kita harus berinvestasi pada anak-anak ini, atau memungkinkan kondisi di dunia menjadi lebih merata bagi mereka," jelas Lake.

Sejak 1990, tingkat kematian anak di bawah usia lima tahun telah mengalami penurunan. Hal ini seiring dengan kemiskinan yang berhasil dikurangi hingga 50 persen.

Meski mengalami kemajuan yang siginfikan, banyak anak yang tetap harus menghadapi kondisi senjang dari berbagai aspek. Sebagian besar anak-anak di Asia Selatan dan sub sahara Afrika adalah contoh nyata.

Rata-rata, mereka lahir dari ibu yang tidak berpendidikan. Dalam kondisi ini, anak-anak itu rentan mengalami kematian sebelum usia lima tahun. Berbeda halnya dibandingkan mereka yang lahir dari ibu dengan pendidikan menengah.

Saat ini, dibutuhkan dana global sebanyak 8,5 miliar dolar AS per tahun untuk pendidikan 75 juta anak-anak di wilayah yang mengalami krisis sangat buruk. Setidaknya, dibutuhkan 113 dolar AS untuk satu orang anak.

"Saat kami memberikan pendidikan, tempat tinggal, dan perlindungan layak bagi anak-anak yang terjebak dalam konflik di suatu wilayah negara, kami yakin mereka akan memiliki kemampuan dan keinginan untuk membangun kembali negara mereka," jelas Lake.     Oleh Puti Almas/reuters, ed: Yeyen Rostiyani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement