Selasa 28 Jun 2016 13:15 WIB

Asia Ingatkan Ancaman Stabilitas

Red:

BEIJING — Sejumlah negara kuat di Asia mengkhawatirkan adanya ancaman terhadap stabilitas pasar keuangan menyusul keputusan Inggris keluar dari keanggotaan Uni Eropa. Salah satunya adalah Cina, yang mengatakan Brexit dapat memberi dampak buruk terhadap perekonomian global.

"Dampak terhadap jatuhnya perekonomian global mungkin akan muncul dalam waktu lima hingga 10 tahun ke depan," ujar Menteri Keuangan Cina, Lou Jiwei, dilansir BBC, Senin (27/6).

Lou menambahkan, hal ini mengingat reaksi pasar saham yang jatuh tajam pada Jumat (24/6) atau sehari setelah keputusan referendum Inggris dikeluarkan. Ia menilai, reaksi spontan dari pasar saham ini mungkin sedikit berlebihan dan diperlukan pandangan yang objektif dalam menyikapinya.

Sementara itu, anggota komite kebijakan moneter bank sentral Cina, Huang Yiping, menjelaskan, Brexit dapat menjadi tanda dari adanya putaran globalisasi. Hal ini di mana keadaan pasar keuangan bisa menjadi sangat buruk bagi dunia.

 

Firma hukum Baker & McKenzie mengatakan tahun lalu, Cina juga bertanggung jawab untuk investasi asing langsung di Inggris. Jumlahnya sebesar 3,3 miliar dolar AS.

Perdana Menteri Inggris David Cameron juga mengumumkan adanya penawaran investasi antara dua negara dalam kunjungan Presiden Cina Xi Jinping pada Oktober tahun lalu. Penawaran investasi ini sekitar 54,7 miliar dolar AS.

Hasil referendum yang dilakukan Inggris pada Kamis (23/6) lalu menunjukkan jumlah pemilih yang menginginkan negara itu keluar dari keanggotaan Uni Eropa atau Brexit mencapai 52 persen. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan mereka yang ingin tetap bertahan dalam organisasi antarpemerintahan dan supranasional tersebut, yaitu sebesar 48 persen.

Menyusul adanya hasil tersebut, mata uang Inggris, poundsterling, jatuh sebesar 10 persen dibandingkan dolar AS. Jumlah ini merupakan yang terendah dalam kurun waktu 31 tahun terakhir.

Dibandingkan terhadap mata uang Jepang, yen, poundsterling jatuh sebesar 11,4 persen. Hal ini kemudian membuat Negeri Matahari Terbit itu sangat mungkin melakukan intervensi untuk membendung penguatan yen.

India juga melakukan sejumlah antisipasi. Negara itu bereaksi dengan bersikap seakan-akan gelombang tsunami tengah memukul perekonomian dunia.

Anand Mahindra, ketua Mahindra Grup, sebuah kelompok konglomerat India yang beroperasi di India, mengatakan akan ada banyak pemulihan di pasar ekonomi seluruh dunia. Namun, ia juga mengatakan, adanya Brexit justru dapat memberi keuntungan.

"Terakhir kali saya berbicara dengan orang-orang di Pemerintah Inggris tentang kemungkinan adanya pengurangan pajak dan bea masuk atas kendaraan listrik," ujar Mahindra.

Namun, pengurangan ini belum dilakukan Inggris karena terikat dengan aturan Uni Eropa. Karena itu, setelah meninggalkan organisasi itu, mereka dapat memiliki kebijakan tersendiri.

"Jadi, kini Inggris dapat memiliki kebijakan tersendiri terkait pajak dan ini memberi keuntungan dalam kerja sama bisnis yang kami lakukan," jelas Mahindra.

Sementara itu, bagi Adi Godrej, ketua Godrej Grup yang bergerak di bidang kosmetik dan kecantikan, mengaku tidak optimistis. Ia mengatakan, keputusan Brexit memberi dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

"Ini begitu negatif dari sudut pandang ekonomi dan tentunya memengaruhi perusahaan-perusahaan India yang ada di Inggris," kata Godrej.

Ia menambahkan, Inggris harus berupaya keras dalam menyeimbangkan kembali keadaan ekonomi sebagai negara yang kini berdiri sendiri dan membangun kesatuan di bagian lain Eropa.

Swiss sebagai negara di Uni Eropa yang sangat mungkin terkena dampak langsung juga mempersiapkan adanya pelemahan terhadap mata uang negara tersebut, franc. Saat ini, penurunan terjadi terhadap franc sebesar 2,1 persen terhadap dolar AS.   rep: Puti Almas/reuters, ed: Yeyen Rostiyani 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement