Jumat 24 Jun 2016 15:00 WIB

RUSI: Ekstremis Sayap Kanan Lebih tak Terdeteksi

Red:

Label Islam pada aksi terorisme mungkin berhasil membuat warga dunia ketakutan. Angka serangan verbal dan tidak verbal terhadap Muslim lain meningkat. Namun, benarkah teror yang disebut-sebut mengatasnamakan Islam juga meningkat? 

Lembaga think tank Royal United Services Institute (RUSI) baru-baru ini mengeluarkan laporan mengenai serangan tunggal ekstremis sayap kanan yang membunuh dan melukai lebih banyak orang dibanding serangan tunggal teroris yang "berlabel Islam". Menurut RUSI, dalam laporannya Countering Lone Actor Terrorism, ekstremis sayap kanan di seluruh Eropa merupakan ancaman besar bagi masyarakat yang tak boleh diabaikan.

Laporan yang dilansir the Guardian ini memerinci kasus-kasus dari 94 orang tewas dan 260 lainnya yang terluka dalam serangan tunggal teroris sayap kanan yang beraksi sendiri. Laporan dibuat berdasarkan kasus antara awal tahun 2000 hingga akhir 2014. Berdasarkan periode yang sama, serangan tunggal dengan mengatasnamakan Islam membunuh 16 dan melukai 65 orang.

"Ekstremis sayap kanan mewakili aspek substansial dari ancaman pelaku tunggal dan tak boleh diabaikan," kata laporan yang dirilis pada Rabu (22/6).

Laporan mengatakan, ekstremis sayap kanan telah bertanggung jawab atas 98 plot dan 72 serangan di 30 negara Eropa, termasuk Norwegia dan Swiss. Serangan termasuk pembunuhan oleh Anders Breivik pada Juli 2011 yang menewaskan 77 orang dan melukai 242 lainnya.

Dinas keamanan mengatakan, serangan tunggal ekstremis merupakan salah satu yang paling sulit dideteksi dan diantisipasi. Laporan ini didapatkan dari hasil pemeriksaan perinci plot teroris dan serangan di seluruh Eropa dan masih terus diperbarui.

Laporan juga mengatakan, fokus yang intens di kalangan masyarakat dan media mengenai bahaya ancaman teroris Islam bertentangan dengan realitas. Sebab, ancaman serangan tunggal ekstremis sayap kanan jauh lebih berbahaya. Mereka menimbulkan korban kematian yang lebih tinggi dan dalam persentase lebih banyak.

"Media dan akibatnya, perhatian publik, sebagian besar fokus pada kekerasan ekstremis Islam, sementara ini mungkin mencerminkan ancaman luas dari serangan tunggal aktor teroris," kata laporan.

Penelitian dilakukan oleh RUSI dan konsorsium lembaga-lembaga think tank, termasuk Chatham House. Mereka menyediakan basis data kasus-kasus teror dari pelaku serangan tunggal di seluruh Eropa. RUSI mengatakan, tujuan keseluruhan dari laporan ini adalah melihat apakah mungkin memahami pola atau tren yang bisa menjadi rekomendasi bagi para pembuat kebijakan.

"Aktor tunggal teroris dianggap menyajikan tantangan akut  bagi para praktisi penegak hukum dalam mendeteksi. Mereka bertindak tanpa perintah langsung dan kontrol dari jaringan yang lebih luas, dan diasumsikan tanpa komunikasi tersebut mereka bisa menghindari pengawasan pihak berwenang," ujar laporan.

Menurut laporan, ekstremis sayap kanan lebih sulit dideteksi dibanding teroris yang terinspirasi agama. Laporan menyatakan 40 persen dari ekstremis sayap kanan diketahui atas unsur ketidaksengajaan. Biasanya karena penyelidikan atas pelanggaran lain atau karena pelaku tak sengaja meledakkan perangkat.

RUSI juga menemukan lebih kecil kemungkinan anggota ekstremis sayap kanan membicarakan kegiatan mereka. Mereka baru ditemukan setelah meledakkan perangkat atau membunuh individu. Sementara, 45 persen ekstremis berlabel Islam umumnya berbicara mengenai inspirasi dan kemungkinan tindakan mereka pada keluarga dan teman-teman.

"Sebaliknya, hanya 18 persen dari kebocoran oleh ekstremis sayap kanan yang melakukan itu," kata laporan.

Ekstremis sayap kanan, menurut laporan RUSI, juga lebih cenderung terisolasi secara sosial atau menderita masalah kesehatan mental dibanding pelaku serangan teroris lain. Mereka umumnya lebih sering mengunggah "indikator petunjuk" mereka di dunia maya.    Oleh Gita Amanda, ed: Yeyen Rostiyani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement