Rabu 25 May 2016 13:00 WIB

Bayi-Bayi di Kamp Pengungsian Yunani

Red:

Wanita hamil berjalan melintasi perbatasan Suriah ke Turki, menyeberangi Laut Aegean dalam perjalanan penuh risiko. Mereka mempertaruhkan nyawa sendiri dan bayi dalam kandungannya. Semua demi mimpi bisa melahirkan anak-anak di dunia yang lebih baik, damai, dan sejahtera, yang tak lain adalah negara di Eropa tengah atau Eropa utara.

Akan tetapi, negara-negara Balkan dan Eropa yang dikejutkan dengan banyaknya orang yang mengetuk pintu mereka, menutup perbatasan negara awal tahun ini. Mengabaikan para ibu hamil di antara sekitar 54 ribu orang terdampar di Yunani.

Tak memedulikan mereka yang terperangkap oleh penutupan perbatasan Makedonia. Padahal, puluhan wanita telah membawa anak-anak mereka ke kamp-kamp pengungsi di Yunani. Jumlah terbesar berada di Sprawling, kamp dadakan di Idomeni, perbatasan Yunani dan Makedonia.

Di sana, wanita menyusui bayi mereka di tenda-tenda kecil, berjuang menciptakan kondisi nyaman di tengah cuaca dingin dan hujan atau panas saat musim semi di Balkan. Sebagian besar bayi tidur di tumpukan selimut, sebagian lagi yang lebih beruntung memiliki tempat tidur bayi hasil sumbangan relawan.

Uday lahir pada 13 April. Seluruh bulan pertama kehidupannya dihabiskan di tenda kecil orang tuanya di depan stasiun kereta api Idomeni. Di tenda tersebut, ibunya, Alia Mohamad (21 tahun), merawat Uday dan berjuang menenangkan tangisan anak lelakinya itu.

"Saya berpikir tentang masa depan. Saya tidak tahu bagaimana masa depannya," kata Alia yang melarikan diri dengan suaminya dari Aleppo, Suriah, dan berada di Idomeni sejak 28 Februari.

"Apa yang saya pikir adalah masa depan anak saya hilang. Dengan situasi dan dengan apa yang kami alami, saya tidak yakin ia akan memiliki masa depan," ucap Alia.

Alia dan suaminya, Mahmud Kusa Ali, telah mempertaruhkan hidup mereka demi sampai ke Eropa, yakni Belgia atau Belanda. Perahu yang membawa mereka dari Pantai Turki bocor dan mereka hampir tenggelam. Sekarang, kata Alia, mereka tidak tahu harus melakukan apa dan sedang mempertimbangkan kembali ke Suriah lantaran berpikir kondisi di Suriah lebih baik daripada kondisi saat ini.

"Saya putus asa karena bayi saya lahir dalam kondisi seperti ini. Anak tersiksa dan saya tersiksa dengannya," kata Alia.

"Kami berhasil melarikan diri dari perang dan kami datang ke sini saat mereka menutup perbatasan. Kami hanya ingin hidup dengan aman," ujarnya.

Berdasarkan rumah sakit setempat di kota terdekat, Kilkis, sebanyak 120 wanita di Idomeni telah melahirkan di rumah sakit tersebut sejak awal tahun. Sementara, seorang wanita melahirkan di kamp dan kemudian dipindahkan ke rumah sakit.

Banyak penghuni kamp telah diangkut ke tempat lain, ke kamp yang lebih terorganisasi atau menetap di apartemen lokal melalui lembaga bantuan. Namun, diperkirakan ada 20 bayi baru lahir saat ini dan menghabiskan kehidupan bulan pertama mereka di kamp yang ditempati lebih dari 14 ribu orang.

Di antara mereka adalah Fawaz yang lahir pada 20 Maret. Rumahnya adalah jajaran delapan tenda yang menampung kumpulan kecil keluarga dari Suriah. Letaknya di sisi lain dari kamp keluarga Uday.

Di antara komunitas keluarga Fawaz dan Uday adalah Wajdan Shalhob (34) dan suaminya, Ishaq Shalhob (37), yang meninggalkan rumah mereka di Daraa bersama putri enam tahun dan putra empat tahun mereka.

"Kami meninggalkan perang bukan untuk tinggal di tenda, di tempat kotor dan penuh penyakit," kata Wajdan. Mimpi keluarganya sama seperti banyak orang lainnya, yakni bisa sampai ke Jerman.

Meskipun tekanan dari Pemerintah Yunani agar pengungsi meninggalkan kamp Idomeni ke kamp-kamp pengungsi di tempat lain, banyak wanita dengan bayi yang masih sangat kecil enggan berpindah. Mereka takut di tempat baru tidak akan ada perawatan memadai untuk bayi mereka.

Di Idomeni, relawan dan organisasi bantuan kemanusiaan telah memberikan susu, popok, dan kebutuhan lain untuk anak-anak. "Setiap hari yang kita habiskan di sini tampak seperti satu tahun," ujar Fatima Dali Hassan (25), seorang Kurdi dari Aleppo yang tiba di Idomeni bersama suaminya, Abdul Rahman, dan tiga putri kecil mereka. Fatima tengah mengandung tujuh bulan saat berangkat menuju Jerman.

"Kami percaya bahwa dalam satu setengah bulan, kami akan berada di tempat yang baik. Saya tidak berharap akan melahirkan di sini," katanya.

"Saya ingin pergi ke Jerman karena kerabat saya ada di sana. Kami mulai (perjalanan ini) untuk masa depan yang lebih baik bagi anak-anak saya," lanjut Fatima.

Ia mengatakan, sekolah-sekolah di Suriah hancur. Tidak ada masa depan bagi anak-anaknya di sana. Baginya, Suriah sudah hancur untuk 20 generasi ke depan. Fatima mengatakan, dia lebih memilih tinggal di tenda kecil di sebuah lapangan di Idomeni dibandingkan kamp-kamp baru yang telah disediakan. Di kamp tersebut, ia mendengar ada kekurangan susu untuk anak-anak.

"Saya akan menunggu sampai Tuhan menyelamatkan kita," katanya.

Salah satu warga baru termuda Idomeni adalah bayi laki-laki yang lahir pada 1 Mei. Ibunya, Nariman Khello (23), seorang Kurdi dari kota perbatasan Suriah, Ayn al-Arab, tampak menggendong bayi itu.

Khello menikah dengan suaminya, Khaled Khello (29), setahun lalu dan memulai perjalanan meskipun sedang berbadan dua. Ia berada di Idomeni selama hampir tiga bulan

"Kami datang ke sini untuk pergi ke Jerman. Di sini, bayi saya tidak memiliki masa depan. Malam sangat dingin dan siang sangat panas. Semoga Tuhan membantu kami," ucap Khello.  Oleh Melisa Riska Putri, ed: EH Ismail

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement