Selasa 24 May 2016 18:00 WIB

Kami Dipukuli, Dilecehkan dan Rumah Kami Dibakar

Red:

Selama beberapa dekade, Muslim Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar, yang merupakan negara mayoritas Buddha. Mereka lari, karena di Myanmar mereka hidup dalam kondisi apartheid. Ditolak aksesnya ke pekerjaan, pendidikan, hingga kesehatan.

Abu Siddiq salah satunya. Berbicara dengan Aljazirah, Siddiq yang kini tinggal di Kuala Lumpur, Malaysia, mengatakan, ia terpaksa harus melarikan diri dari rumahnya. Semua dilakukannya setelah etnis Buddha di Myanmar meluncurkan kampanye brutal terhadap keluarga dan komunitasnya.

"Kami dipukuli, dilecehkan, dan rumah kami dibakar," kata Siddiq seperti dilansir Aljazirah, Senin (23/5).

Ia mengatakan, kala itu mereka bahkan harus menggali parit dan menempatkan rumput kering di dalamnya untuk tidur. Mereka tak punya makanan untuk dimakan dan kerap diburu.

"Dengan 6.000 orang yang hidup di wilayah itu, kami minum air dari saluran air, bahkan genangan. Tak ada makanan atau perawatan medis," kata Siddiq.

Ia menambahkan, keempat anaknya yang berusia dua, tiga, lima dan sepuluh tahun pun tewas setelah dibunuh secara brutal. Pada Ramadhan lalu, Siddiq mengisahkan, seorang perempuan Rohingya juga tewas setelah kerusuhan.

Khawatir akan keselamatan anggota keluarganya yang tersisa, Siddiq pun memutuskan bergabung dengan 120 orang lain. Mereka berdesakkan dalam perahu menuju Malaysia.

Sebelum sampai Malaysia, Siddiq dan rombongan menyebrang ke perbatasan Bangladesh demi mendapat perlakuan lebih baik. Sayang, banyak yang ditolak oleh otoritas yang mengelak bertanggung jawab, dan mengklaim mereka tak memiliki sumber daya untuk merawat mereka.

"Setelah ditolak, kami segera menghabiskan makanan dan air kami, tiba di perairan Thailand sepekan kemudian. Kami lalu dihentikan oleh penyelundup manusia yang sedang menunggu di kapal cepat, mereka bersenjata. Kami kemudian dimasukkan ke kapal dan dipukuli. Kami dibawa ke darat dalam keadaan terkunci di kandang. Mereka ingin uang tebusan, jika tidak, mereka akan mengambil wanita muda dan memperkosanya," kata Siddiq.

Setelah menghubungi kerabat untuk meminta bantuan, Siddiq mengatakan para penculik pun mendapat 3.000 dolar AS untuk pembebasan mereka. Kemudian mereka pun tiba di Malaysia.

Tak dianggap sebagai salah satu dari 135 etnis resmi di negaranya, Pemerintah Myanmar memandang Rohingya sebagai imigran ilegal asal Bangladesh. Padahal faktanya, etnis Rohingya telah tinggal di wilayah tersebut selama lebih dari satu abad. Pemerintah telah membantah kewarganegaraan mereka sehingga mereka hidup tanpa kewarganegaraan.

Kini Siddiq, seperti banyak pengungsi Rohingya lain di Malaysia, mereka telah menemukan hidup lebih baik meski menjadi pekerja dengan bayaran murah. Ia bekerja sebagai pembersih saluran di Kuala Lumpur. Tapi ia juga dibayangi ketakutan akan deportasi karena tak memiliki status hukum di negara itu.

Malaysia, seperti banyak negara tetangganya, belum menandatangani Konvensi PBB terkait pengungsi. Itu berarti tak ada hukum untuk melindungi para pengungsi.

Menurut data UNHCR, ada 53.700 pengungsi Rohingya yang terdaftar di Malaysia. Tapi mereka meyakini, jumlahnya tentu lebih tinggi lagi.

Pada Oktober lalu, unit investigasi laman Aljazirah menemukan 'bukti kuat' genosida yang dikoordinasikan Pemerintah Myanmar terhadap Rohingya. Bukti mengungkapkan, pemerintah memicu kekerasan komunal untuk kepentingan politik dengan menghasut kerusuhan anti-Muslim.   rep: Oleh Amanda, ed: Yeyen Rostiyani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement