Selasa 01 Sep 2015 15:00 WIB

Dari Kritik Sosial, Bertolak ke Pergelutan Hidup

Red:

Afriani telah menggelar pameran tunggal ketiganya di Galeri 678, Kemang, Jakarta Selatan. Pameran yang berlangsung dari 26 Agustus hingga 6 September 2015 itu mengusung tema "Be The Winner".

Mayoritas karya-karyanya kali ini menceritakan perihal pergelutan manusia dalam hidupnya. Yang menurut Afriani, pergelutan itu tak akan mengenal kata jeda atau usai hingga mata terpincing dan kembali ke pangkuan-Nya.

Karya-karya Afriani kali ini dikurasi oleh Kuss Indarto. Ia menilai, Afriani telah menghasilkan karya yang evolutif dibandingkan lukisan-lukisan sebelumnya.

Kuss menuturkan, pameran tunggal Afriani yang pertama bertajuk "Vox Populi". Di dalamnya, Afriani mengambil latar kontras-kontras sosial dan ketimpangan masyarakat, terutama yang tinggal di Jakarta. Ini juga bertautan dengan tema yang memenggal semboyan vox populi vox dei yang bermakna suara rakyat adalah suara tuhan.

Menurut Kuss, pada pameran "Vox Populi", Afriani dengan jeli melihat bahwa rakyat bukanlah kumpulan manusia yang dapat disetarakan dengan Tuhan. "Rakyat ya rakyat dengan segala kemanusiawiannya. Namun, dalam konteks tertentu bisa menginspirasi sesamanya dengan nilai ketuhanan lewat aksi kepedulian dan solidaritas," ujarnya.

Citra visual tentang kontradiksi sosial kemasyarakatan juga masih dipertahankan Afriani pada pameran tunggal keduanya, "Prahara Sunyi". Di dalamnya, ia menceritakan soal anak-anak yang kehilangan kebahagiaan karena harus mendulang uang, hingga proyek pembangunan yang dipancang atas jerit penggusuran masyarakat jelata.

Dan, setelah berkutat dengan tema-tema kritik sosial, Afriani, kata Kuss menghasilkan karya berlatar berbeda dalam pameran tunggal ketiganya. "Be The Winner", menurutnya, sarat akan nilai filosofis.

Pada karyanya kali ini, Afriani memang dominan menyinggung masalah pergelutan, perjuangan, dan pertarungan diri. Semua direpresentasikan dengan gambar, sel sperma, kepompong, dan kupu-kupu, layaknya sebuah porses metamorfosis.

Kuss menilai, penggambaran tersebut bagaikan cermin dan medan pengingat yang disuguhkan oleh sang pelukis. Agar manusia kembali menyadari bahwa tiap tahap perjalanan manusia adalah proses pertarungan.

Dengan level-level pertarungan yang selaras dengan kurun usia. "Berikut segala kesulitan dan kemudahannya, kestabilan, dan dinamikanya," jelas Kuss. n c23 ed: endro yuwanto

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement