Jumat 29 May 2015 14:00 WIB

Setelah Vonis Mursi

Red:

Jumat (21/5), mantan ketua juru bicara Dewan Pembimbing Ikhwanul Muslimin (IM) Mahmoud Ghozlan menyampaikan seruannya dari pengasingan.

Ia mengimbau agar anggota Ikhwan Mesir tetap berada dalam jalan damai, menolak kekerasan sesuai prinsip utama gerakan tersebut. "Jalan perdamaian merupakan salah satu alasan mengapa IM bisa bertahan hingga hampir 90 tahun," ujarnya dalam laman pro IM, Nafazat Misr.

Ini merupakan pernyataan pertama Ghozlan dalam dua tahun terakhir setelah ia mengasingkan diri ke Turki. Ia bertolak ke Istanbul pascajatuhnya presiden Muhammad Mursi, Juli 2013.

Ghozlan bukan orang baru di IM. Ia menjadi salah satu sosok senior disegani di gerakan tersebut, sama seperti halnya Mohammad Badie maupun Khairat al-Shater yang kini mendekam di penjara. Ghozlan yang pernah menjadi sekjen IM juga sempat merasakan pahitnya penjara Mesir pada era rezim Husni Mubarak. Ia dipenjara pada 2002 dan 2007.

Ghozlan menyampaikan komentarnya kurang dari sepekan setelah Mursi divonis mati oleh pengadilan Kairo dalam kasus penjebolan penjara yang menyebabkan sejumlah polisi tewas pada 2011. Putusan tersebut menuai kecaman internasional, mulai dari Turki, PBB, Uni Eropa, hingga AS. Kalangan aktivis hak asasi manusia menilai vonis tersebut tidak sesuai prinsip keadilan.  

Pernyataan Ghazlan menyiratkan kekhawatirannya akan keterlibatan sejumlah anggota IM dalam aksi kekerasan di Mesir menyusul vonis Mursi tersebut. Hukuman mati terhadap Mursi sangat mungkin memicu gelombang kekerasan yang bisa dilakukan oleh siapa pun. Tentu, hal itu menguntungkan rezim Sisi karena aparat memiliki pembenaran untuk menangkapi dan membasmi gerakan yang telah mereka cap sebagai teroris itu.

Belum lama ini, Kementarian Dalam Negeri menyalahkan IM atas tewasnya tiga hakim Mesir. Tiga hakim itu ditembak mati saat dalam perjalanan menggunakan sebuah mobil di Kota al-Arish, Semenanjung Sinai, wilayah yang kerap dilanda kekerasan.

Pemerintah menggunakan waktu penembakan yang dilakukan beberapa jam setelah vonis Mursi dibacakan untuk menyalahkan IM. Otoritas Mesir mengatakan, IM telah beraliansi dengan organisasi teroris yang menewaskan ratusan polisi, tentara, dan rakyat sipil dalam 1,5 tahun terakhir.

"Pemimpin IM yang telah melarikan diri dari negara ini telah mengubah retorika mereka dan secara resmi mengubah komitmen untuk bergerak secara damai," ujar Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri Hany Abdel Latif seperti dikutip media propemerintah, Ahram.

Beragam tekanan itu membuat banyak pihak bertanya-tanya mengenai masa depan IM Mesir ke depan, khususnya setelah penangkapan dan pemberedelan besar-besaran oleh militer. Akankah IM bisa bertahan atau hancur? Akankah IM tetap menjadi kelompok moderat atau radikal? Akankah IM berkongsi dengan pemerintah atau terus menjadi oposisi?

Para pemimpin IM di luar negeri menegaskan bahwa kelompok mereka masih kuat kendati petinggi gerakan telah ditangkapi satu per satu. Menurut Amr Darrag yang juga petinggi Partai Keadilan dan Kebebasan, sayap politik IM, para pemimpin di penjara tetap pemimpin mereka. Namun, generasi baru akan hadir. "Karena, untuk menjalankan organisasi, kamu harus berada di luar dan di tengah peristiwa," katanya.

Darrag memang bukan tokoh senior seperti Ghozlan di IM. Namun, ia cukup dekat dengan Mursi serta petinggi IM lain, Essam el-Erian. Dalam satu kesempatan terpisah, ia bahkan meyakinkan bahwa suatu saat rezim militer akan hancur.

"Ini bukan mengenai Ikhwanul Muslimin, tapi ini merupakan pertempuran pemuda Mesir untuk masa depan negara itu. Kita akan menyingkirkan rezim militer. Puluhan ribu dari kita akan di penjara. Namun, kami yakin hal itu tak akan sia-sia," katanya seperti dikutip independent.co.uk.

Lima skenario

Pada 2014, Carnegie Endowment for International Peace menulis analisis mengenai IM dan politik Islam di Mesir. Dalam ulasannya, lembaga peneliti itu mengungkapkan lima kemungkinan mengenai masa depan IM.

Pertama, rezim militer tetap berkomitmen untuk menghancurkan Ikhwanul Muslimin. Dalam skenario ini, IM akan tetap menghadapi perlakuan kejam dan diskriminatif dari rezim, termasuk penangkapan, pembekuan aset, ataupun konfrontasi kekerasan.

Bagaimanapun, hal itu tidak akan mudah mengingat jaringan IM yang cukup luas. Lagi pula, IM bukanlah pemain baru dalam perpolitikan Mesir. Organisasi yang didirikan Hassan al-Banna ini telah terbentuk sejak 1928. Kelompok ini telah melewati masa kelam pada zaman Gamal Abdul Naser hingga Husni Mubarak.

Skenario kedua, yakni IM menang dan kembali ke perpolitikan Mesir. Asumsi ini memiliki sejumlah prasyarat penting, seperti keberhasilan IM mendestabilkan rezim melalui aksi protesnya.  Hal ini didukung oleh kegagalan pemerintah membangun sektor ekonomi dan politik. IM juga harus memiliki strategi yang kuat untuk mengimbangi pemerintah. Penelitian Carnegie menyimpulkan salah satu kegagalan aksi pemulihan Mursi adalah kemampuan merangkul kelompok lain, seperti pekerja dan kalangan profesional. 

Asumsi ketiga, IM melakukan rekonsiliasi dengan rezim. Skenario ini pernah berlangsung pada era Mubarak. Rezim Mubarak mengizinkan anggota IM terjun dalam dunia politik asal tidak melewati garis merah yang telah ditetapkan. Meski sulit, peneliti Carnegie berpendapat ini bisa menjadi win-win solution di antara kubu bertikai. Bagi rezim, hal ini akan memberikan keuntungan untuk membangun stabilitas ekonomi dan politik.

Skenario keempat, IM akan pecah menjadi dua faksi. Kelompok pertama, yakni moderat yang melihat kebijakan terdahulu terlalu konfrontasional. Kedua, yakni kelompok garis keras yang menilai kebijakan terlalu kompromistis dan tak sesuai dengan ideologi.

Faksi moderat fokus dalam pembangunan ekonomi, pemberdayaan aksi sosial, serta pelayanan terhadap masyarakat. Kelompok ini dapat dengan mudah membangun jaringan dengan beragam faksi politik. Model Turki bisa dijadikan contoh kendati terdapat perbedaan ihwal basis kelompok Islam di kedua negara.

Adapun, kelompok garis keras memilih menggunakan perlawanan fisik dalam gerakannya. Kelompok ini yakin lebih baik melawan represi pemerintah daripada menerima begitu saja secara pasif. 

Sejumlah media Mesir dan artikel luar baru-baru ini menulis mengenai perbedaan pendapat yang terjadi di kubu IM pascapenggulingan Mursi. Media Ahram menulis sekelompok muda IM  mempertanyakan seruan gerakan damai Ghozlan melalui komentar dalam artikel Nafazat Misr. "Bagaimana kalian menyatakan perdamaian dengan kudeta militer, polisi, dan pengadilan?" tanya Hamza Saeed, komentator yang diklaim Ahram sebagai kader Ikhwan. 

Dalam sebuah artikel di laman Forreignaffairs, Eric Trager dan Marina Shalabi menilai pemimpin senior IM telah kehilangan kontrol atas sejumlah kader mudanya di Mesir. Sejumlah kekerasan terbatas pun dilakukan kelompok IM. Ideologi kekerasan memang tak sejalan dengan doktrin petinggi kelompok itu. Karena keberhasilan IM dalam meraih simpati rakyat, yakni dengan kemampuan gerakan pelayanan sosialnya yang berjalan masif di akar rumput.

Sementara, skenario kelima, organisasi IM akan menarik diri dari aktivitas politik. IM mengakui kegagalannya dalam aksi protes terdahulu dan memilih fokus dalam penanaman ideologi secara internal.

Hingga saat ini, ruang dialog masih tertutup di antara kubu bertikai. IM masih menginginkan kekuasaan Mursi dikembalikan. Sebaliknya, militer tak berhenti melancarkan langkah represif. Namun, pada akhirnya waktu akan membuktikan, skenario mana yang benar dan bagaimana hubungan keduanya ke depan.  

***

Dari Istana ke Penjara

Berikut perjalanan kepemimpinan Mursi dari kemenangan di pemilu hingga vonis mati pengadilan.

11 Februari 2011 : Pemimpin rezim Husni Mubarak mundur setelah demonstrasi besar-besaran yang berlangsung selama 18 hari.

28 November 2011-15 Februari 2012 : Ikhwanul Muslimin (IM) memenangkan pemilihan parlemen dengan meraih hampir setengah kursi dewan.

28 Juni 2012 : Muhammad Mursi mengalahkan Ahmed Shafiq dalam putaran kedua pemilihan presiden.

12 Juni 2012 : Mursi mengangkat Abdul Fattah al-Sisi sebagai menteri pertahanan.

22 November 2012 : Mursi mengeluarkan dekrit yang melarang pengadilan membubarkan tim panel konstitusi. Dekrit itu juga menguatkan posisinya di hadapan pengadilan.

30 Juni 2013 : Unjuk rasa besar-besaran digelar oposisi Mursi. Militer mengeluarkan ultimatum 48 jam agar pemerintah meraih konsensus dengan oposisi.

3 Juli 2013 : Sisi menggulingkan Mursi.

14 Agustus 2013 : Lebih dari 600 orang tewas setelah polisi membubarkan paksa dua tempat konsentrasi unjuk rasa pro-Mursi di Kairo. Laporan lain menyebut jumlah korban mencapai lebih dari 1.000 orang.

23 September 2013 : Pengadilan memerintahkan pelarangan organisasi IM dan meminta semua aset dibekukan.

25 Desember 2013:  Pemerintah mengecap IM sebagai organisasi teroris.

24 Maret 2014 : Pengadilan Mesir memvonis mati hampir 530 pendukung Mursi.

28 April 2014 : Pengadilan memvonis mati petinggi spiritual IM dan 682 terdakwa lainnya.

3 Juni 2014 : Sisi memenangi pemilihan presiden dengan 96,9 persen.

30 November 2014: Hakim mencabut dakwaan kasus pembunuhan terhadap Mubarak.

21 April 2015:  Mursi divonis 20 tahun penjara terkait kasus kekerasan terhadap demonstran pada 2012.

16 Mei 2015 : Pengadilan menjatuhkan hukuman mati terhadap Mursi dan 100 terdakwa lainnya terkait kasus pembobolan penjara pada 2011.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement