Selasa 24 Mar 2015 18:00 WIB

RI: Klaim Cina Tak Berdasar Hukum Indonesia telah mengirim sikap resmi terhadap masalah sengketa pada 2009.

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,

TOKYO -- Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, klaim  Cina atas sebagian besar Laut Cina Selatan tak memiliki dasar hukum  dalam hukum internasional, Senin (23/3). Ia mengatakannya saat  mengunjungi Jepang dalam helatan kenegaraan.

''Nine dash line yang Cina sebut sebagai batas maritim mereka tidak  memiliki basis hukum di undang-undang internasional manapun,'' kata  Joko dalam wawancara dengan koran Jepang, Yomiuri yang  dipublikasikan Senin.

''Kami mendukung Code of Conduct tentang Laut Cina Selatan,  termasuk dialog antara Jepang dan Cina, Cina dan ASEAN,'' tambah  Jokowi.

''Kita butuh perdamaian dan stabilitas di wilayah Asia Pasifik. Ini sangat  penting untuk membangun perkembangan ekonomi kita,'' kata Jokowi.

Garis putus-putus yang dijadikan tolak ukur Cina menandai wilayahnya  mencapai luas 3,5 juta km persegi. Jumlah tersebut mencapai 90  persen wilayah Laut Cina Selatan.

Kunjungan Jokowi ke Jepang sebagian besar untuk menjalin kerja  sama. Ia dan Perdana Menteri Shinzo Abe menandatangani  kesepakatan kerja sama bidang pertahanan pada Senin beserta dua  menteri pertahanan mereka. Kesepakatan ini berisi bagaimana bekerja  sama dengan militer Jepang, termasuk dalam operasi penyelamatan,  pencarian, pertolongan kemanusiaan, dan pertahanan siber.

Penengah

Penasihat Kebijakan Luar Negeri Rizal Sukma mengatakan, Presiden  Jokowi tidak berbicara tentang keseluruhan klaim Cina. Jokowi,  tambahnya, hanya membicarakan batas nine dash yang  membentang jauh ke dalam jantung maritim Asia Tenggara.

Sejak mulai menjabat pada Oktober 2014, ini pertama kalinya Jokowi  berkomentar soal sengketa Laut Cina Selatan yang melibatkan  negara-negara ASEAN ini.  Rizal juga mengatakan, Indonesia telah  mengirim sikap resmi terhadap masalah sengketa pada 2009.

''Indonesia mengirim sikap resmi terhadap masalah ini ke Komisi PBB  tentang landasan batas kontinen, bahwa garis itu tidak memiliki dasar  hukum internasional,'' kata Rizal.

Hingga saat ini, tambahnya, tidak ada sikap Indonesia yang berubah.  “Indonesia tetap ingin menjadi penengah yang jujur,” ujar dia.

Klaim Cina bersinggungan dengan klaim negara lain, di antaranya,  Brunei, Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Taiwan. Wilayah-wilayah  tersebut disinyalir kaya akan minyak dan gas.

Wilayah perairan ini juga menjadi jalur penting perdagangan. Sekitar 5  triliun dolar AS 'berlalu lalang' di sana per tahunnya. Sengketa area  panas ini dikhawatirkan membawa konflik berkelanjutan antarnegara  tetangga tersebut.

Kementerian Luar Negeri Cina menjawab pernyataan Jokowi. Mereka  mengulangi bahwa garis standar tentang kedaulatan Cina dan  perselisihan ini harus diselesaikan antara negara-negara yang terlibat  secara langsung.

''Inti dari sengketa Laut Cina Selatan adalah karena pendudukan ilegal  beberapa negara di beberapa pulau di Laut Cina Selatan dan perairan  sekitarnya. Ini telah menyebabkan klaim maritim tumpang tindih,'' kata  juru bicara Kemenlu Cina, Hong Lei, pada briefing harian.

Batas yang tidak jelas ini pertama kali secara resmi diterbitkan dalam  peta versi pemerintahan Nasionalis di Cina pada 1947. Batas  yang sama kemudian dimasukkan lagi dalam peta selanjutnya yang  dikeluarkan di bawah pemerintahan Komunis di Cina.

Cina selama ini dinilai agresif dalam mempertahankan klaimnya di Laut  Cina Selatan, salah satunya melalui kegiatan reklamasi. Baru-baru ini  Cina melakukan reklamasi di Kepulauan Spratly yang menjadi bagian  dari Laut Cina Selatan. Bahkan, pencitraan 2014 menunjukkan garis-garis untuk jalur kapal terbang serta pelabuhan laut. 

"Kami tidak seperti negara-negara lain yang melakukan 'pembangunan  ilegal' di wilayah orang lain, dan kami tidak akan menerima komentar  pedas mengenai pembangunan yang kami lakukan di tanah kami  sendiri," ujar Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi, 8 Maret silam,  mengacu pada negara-negara lain yang mengklaim Laut Cina Selatan.  n reuters ed: yeyen rostiyani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement