Ahad 01 Feb 2015 15:09 WIB

Punya Anak Kedua? No, Thanks

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, Boleh jadi ini kabar gembira untuk warga Cina. Sejak setahun lalu, pemerintah negeri ini telah melonggarkan kebijakan kontroversial yang memaksa warganya hanya memiliki satu anak. Kini peraturan tersebut telah sedikit berubah. Pemerintah Cina mengizinkan pasangan untuk memiliki anak kedua. Syaratnya, ayah atau ibunya adalah anak tunggal dalam keluarganya.

Bisa dibilang inilah liberalisasi besar-besaran terhadap kebijakan satu anak yang telah diterapkan selama tiga dekade itu. Menurut kantor berita Xinhua, berkat peraturan baru diperkirakan ada 1 juta pasangan suami-istri yang mengajukan izin untuk memiliki anak kedua.

Bahkan, diperkirakan di seluruh negeri ada sekitar 11 juta pasangan yang diizinkan untuk menambah anggota keluarganya. Malah, pihak dinas kesehatan memprediksi kebijakan itu akan memicu kelahiran 2 juta bayi.

Benarkah demikian?

Ternyata, tidak semua warga Cina bersyukur dengan peraturan baru itu.

Di Beijing, hanya sekitar 30 ribu pasangan yang mengajukan aplikasi memiliki anak kedua. Ini jauh dari angka 50 ribu aplikasi yang diperkirakan sebelumnya. Hal serupa terjadi pula di kota lain seperti Shanghai dan Shenzhen.

Eason, seorang warga Beijing, tampaknya termasuk yang enggan menambah anak. Ayah seorang anak berusia tiga tahun itu mengaku cemas dengan urusan keuangan jika punya anak lagi. `'Membesarkan anak tunggal saja sudah membuat repot keuangan kami,'' ujarnya, seperti dilan- sir CNN. `'Punya bayi lagi berarti menambah biaya pendidikan, tempat tinggal, dan banyak lagi.''

Pria yang enggan mengungkap nama lengkapnya itu pun menambahkan, `'Mengurus satu anak benar- benar menguras energi kami dan orang tua kami.''

Lain lagi dengan Zhang Li. Perempuan muda ini sebenarnya ingin hamil kembali. Namun, keinginannya itu ditentang habis oleh keluarga besarnya. `'Orang tua saya menentang keras keinginan kami memiliki anak kedua. Mereka berpikir ini akan menambah beban ekonomi keluarga.

Selain itu, tidak ada yang punya waktu dan energi berlebih untuk mengurus bayi baru,'' kata dia.

Pendapat semacam ini cukup mencemaskan pihak kependudukan setempat. Mereka cemas Cina akan mengalami generasi yang beranjak tua sebelum mampu mencapai level sejahtera untuk sanggup mengurus mereka yang lebih senior.

Banyak yang menilai seharusnya Cina menghapus kebijakan keluarga berencana secara total untuk memastikan jumlah angkatan kerja yang memadai untuk menyokong generasi tua. Diduga kuat, fenomena ini akan terjadi tak lama lagi, sekitar tahun 2016.

`'Masalah demografi dalam jangka panjang sungguh mencemaskan. Cina mulai dibandingkan dengan Jepang yang masalah ekonominya dipicu oleh tren demografi,'' ujar Brian Jackson, ekonom di sebuah grup riset IHS Global Insight di Beijing.

Boleh jadi sebenarnya para pemimpin Cina berharap para orang tua bisa menunda sejenak memiliki bayi lagi hingga kesejahteraan mereka terjamin. Entahlah. Yang pasti, tahun baru Cina mendatang, yang dimulai pada Februari, menandai kehadiran tahun kambing dalam kalender Cina. Dan, bayi yang lahir di tahun kambing ini diyakini penurut dan bisa menepis nasib buruk.Apakah tahun kambing ini akan memicu kelahiran bayi-bayi Cina? Kita tunggu saja. ed: Endah Hapsari

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement