Jumat 30 Jan 2015 16:15 WIB

Ancaman Shale Oil?

Red:

Hukum ekonomi saat ini nyata terbukti. Pasokan barang berlebih, sementara permintaan tak kunjung naik, dan akhirnya harga produk pun jatuh.

Inilah yang terjadi dengan pasar minyak mentah dunia saat ini. Pasokan minyak yang terlalu berlebihan membuat harga jatuh di luar kendali dan perkiraan.

Banyak pihak yakin, sesungguhnya bukan pasokan dari anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang terlalu banyak, tetapi dari Amerika Serikat. Ekonom juga melihat pasokan dari tetangga AS, yaitu Kanada dan Meksiko, lumayan bertambah.

AS juga memproduksi jenis minyak nonkonvensional yang jumlahnya makin banyak. Pesaing lainnya, seperti yang dibuat oleh OPEC, masih mengandalkan minyak yang umum dikonsumsi. AS memanfaatkan teknologi terkini dengan mengolah serpihan bebatuan menjadi minyak. Itulah shale oil yang kini menjadi andalan AS di pasar minyak dunia.

Temuan teknologi yang mampu mengolah sedimentasi organik dari bebatuan kaya kandungan kerogen menjadi minyak membuat produksi minyak AS melonjak drastis. Produksi minyak dari AS meroket dari 5,0 juta barel per hari pada 2008 menjadi lebih dari 9,0 juta barel. Diperkirakan dalam waktu dekat produksinya bisa menembus 10 juta barel per hari.

Berdasarkan data Energy Information Administration (EIA) AS, hingga 2012 produksi minyak terbanyak berasal dari Arab Saudi, mencapai 11,73 juta barel per hari. AS sudah menyalip Rusia dan berada pada urutan kedua dengan total produksi 11,12 juta barel per hari. Rusia kini memproduksi 10,4 juta barel per hari.

Menurut Deputi Gubernur Bank Kanada Timothy Lane, minyak serpih menyumbang cukup banyak terhadap total produksi minyak AS. Minyak jenis ini diproduksi sejak enam tahun lalu dan pada 2008 produksinya belum memberi andil sama sekali. Namun, saat ini minyak serpih diproduksi hingga 4,0 juta barel per hari atau 36 persen dari total produksi minyak AS. Ke depan, produksi minyak serpih bisa mencapai 4,8 juta barel per hari.

Namun, informasi mengejutkan muncul dari Bank of America Corp yang menyebut produksi minyak AS akan melampaui Arab Saudi pada 2015 ini karena kontribusi yang banyak dari minyak serpih. Total produksi minyak AS per hari bisa di atas 11 juta barel hanya pada kuartal pertama 2015.

Pernyataan Bank of America sebenarnya tak terlalu mengejutkan karena selisih produksi minyak AS dengan Arab Saudi juga tipis, hanya 0,61 juta barel per hari. Itu pun data 2012.

Bahkan, pada Juni 2014 lalu Badan Energi Internasional (IEA) menyebut AS sudah menjadi produsen minyak dan gas alam terbesar dunia. Pada 2010 saja, AS sudah menjadi produsen gas alam terbesar dunia.

EIA memperkirakan cadangan minyak dunia meningkat hampir 0,8 juta barel per hari pada 2014, lonjakan terbesar sejak 2008. Produksi dari negara-negara di luar OPEC tumbuh 2,0 juta barel per hari pada 2014.

Persediaan minyak global pun diperkirakan akan terus tumbuh dengan angka rata-rata 0,9 juta barel per hari pada paruh pertama 2015. Namun, pada akhir 2015 pasokan dari negara non-OPEC akan menurun sebagai imbas dari murahnya harga.

EIA memperkirakan cadangan minyak komersial dari Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) tumbuh 158 juta barel pada 2014. Pada 2015, pertumbuhannya lebih kecil, hanya 68 juta barel dan bisa stagnan pada 2016.

Perusahaan terengah-engah

Bila pasokan tetap berlebih, harga minyak dunia akan terus terkoreksi. Harga minyak yang loyo saat ini sudah membuat beberapa perusahaan minyak terengah-engah.

Diperkirakan lebih dari 30 ribu pekerja di industri minyak terkena pemecatan. Pada saat bersamaan, mereka juga memangkas anggaran. Belanja eksplorasi dan produksi diperkirakan turun lebih dari 116 miliar dolar AS. Menurut analisis Cowen & Co, penurunan anggaran mencapai 17 persen dari biasanya karena pendapatan minyak mentah jatuh.

Raksasa perusahaan minyak British Petroleum (BP) juga terimbas harga murah minyak. Perusahaan minyak terbesar ketiga Eropa berdasarkan nilai market ini harus mengevaluasi beberapa rencana agar bisa beroperasi dengan baik.

"Perusahaan perlu mengambil sejumlah langkah untuk menanggapi lingkungan bisnis yang keras," ungkap CEO BP Bob Dudley dalam memo kepada para staf beberapa waktu lalu, seperti dilaporkan Bloomberg. "Salah satu langkah yang kita ambil adalah menahan gaji pokok pada 2015, tetapi dengan beberapa pengecualian."

BP mempekerjakan lebih dari 80 ribu orang di seluruh dunia. BP menjadi perusahaan minyak dunia pertama yang mengumumkan pembekuan gaji staf. Ini terjadi karena harga minyak merosot di bawah 50 dolar AS per barel.

Harga minyak yang terjun bebas selama berbulan-bulan ini memaksa produsen meninjau rencana pengeluaran untuk proyek-proyek baru. Bahkan, banyak yang harus mengurangi staf dan memotong biaya.

Manajer Regional BP Trinidad dan Tobago menyatakan, pihaknya menawarkan program perumahan sementara bagi 1.000 karyawannya. Khusus di ladang Laut Utara, BP mengurangi 300 pekerja, selain untuk mengatasi kemerosotan harga juga karena ladang minyak di sana sudah banyak yang tua. Selama ini, BP mempekerjakan 4.000 orang di Laut Utara dan lebih dari 11 ribu staf di seluruh Inggris.

Shell memutus hubungan kerja 250 pekerjanya di ladang minyak North Sea pada Agustus 2014. Chevron bulan sebelumnya juga sudah memangkas 225 pegawainya.

Perusahaan Baker Hughes Inc dan Halliburton Co juga bersiap merumahkan ribuan karyawan yang biasa bekerja di pengeboran minyak. Baker dilaporkan memangkas 7.000 pegawainya. Sementara, perusahaan raksasa lainnya, Schlumberger Ltd, malah menghentikan 9.000 pekerja atau 7,0 persen dari total pegawai perusahaan tersebut.

Berdasarkan data yang dirilis Baker Hughes, jumlah pengeboran minyak AS turun 55 pada pertengahan Januari. Ini menjadi penurunan terbanyak kedua dalam 24 tahun terakhir. Meski aktivitas dan jumlah pekerja berkurang, Halliburton dan Baker Hughes tetap menunjukkan kinerja yang gemilang hingga akhir 2014.

Pendapatan Baker Hughes dari Amerika Utara naik 20 persen, sementara revenue Halliburton dari tempat yang sama melonjak 24 persen. Total pendapatan Baker Hughes naik 13 persen menjadi 6,64 miliar dolar AS, sementara Halliburton naik 15 persen menjadi 8,77 miliar dolar AS.

Meski demikian, banyak produsen yakin minyak serpih tak efisien dari sisi biaya produksi. Kajian Bernstein Research, lembaga riset independen global, menunjukkan sepertiga produksi minyak serpih AS tak ekonomis bila harga minyak turun menjadi 80 dolar AS per barel. Padahal, harga sekarang masih di bawah 50 dolar AS. Dengan demikian, yang tak ekonomis makin banyak.

IEA pun menganalisis empat persen dari proyek shale oil AS menjadi tak menguntungkan bila harga minyak WTI di bawah 80 dolar AS. CEO Halliburton David Lesar menuturkan, perusahaannya sudah ahli dalam mengubah batuan sedimen menjadi minyak. Selama ini, produksi minyak aman bila harga minyak pada kisaran 80-100 dolar AS.

Sumur minyak serpih dari sisi operasi lebih simpel dibandingkan sumur minyak konvensional karena tak memerlukan pemompaan konstan untuk mengalirkan minyak. Menurut kajian Reuters, biaya operasi minyak serpih 10-30 dolar AS per barel. Breakeven (titik impas yang tak merugikan) diperkirakan pada angka 50-80 dolar AS per barel.

EIA pada 2009 memaparkan data biaya produksi minyak mentah konvensional sebesar 12 dolar AS per barel di Amerika Serikat, sementara di Timur Tengah hanya 10 dolar. Namun, banyak yang sepakat biaya produksi saat ini berada pada level 20-25 dolar AS per barel. Ongkos produksi minyak Exxon Mobil bisa lebih hemat, hanya 12,72 dolar AS per barel pada 2013 dari sumur minyak AS.

Ada perbedaan antara biaya produksi dan titik impas. Ongkos produksi diperlukan untuk mengangkat minyak mentah dan memelihara sumur minyak, peralatan, dan fasilitas. Lifting juga sering dipakai untuk menyebut biaya produksi. Harga impas minyak mentah meliputi biaya produksi, eksplorasi atau biaya pencarian minyak, biaya pengembangan sumur minyak, biaya transportasi, ongkos penjualan, serta beban administrasi.

Dengan demikian, biaya batas atas minyak serpih lebih mahal ketimbang minyak konvensional. Itulah yang membuat anggota OPEC yakin minyak serpih tak efisien, apalagi dengan harga sekarang yang sangat murah.

Lalu, kapan harga minyak bisa dianggap kembali pada titik normal? Pendiri BP Capital Boone Pickens, Jumat (23/1) lalu, memprediksi harga minyak dunia akan kembali mendekati 70 atau 80 dolar AS per barel pada kuartal keempat 2015. Produsen minyak West Texas Intermediate (WTI) dan Brent tak akan lagi mematok harga hingga mencapai 45 dolar AS. Sebelumnya, pada Desember lalu Pickens memperkirakan harga minyak dunia akan kembali pada angka 100 dolar AS per barel pada 12 hingga 18 bulan ke depan.

Semua bisa terjadi. Bisa saja harga minyak kembali melambung, tetapi siapa pula yang bisa menebak bila harga akan tetap murah? N rakhmat hadi sucipto

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement