Jumat 19 Dec 2014 13:55 WIB

Rusia Akui Berat Hadapi Sanksi

Red:

MOSKOW -- Rusia mengakui berat dalam menghadapi sanksi yang dijatuhkan Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS). Menteri Ekonomi Rusia Alexei Ulyukayev, pada Kamis (18/12) mengungkapkan, sanksi yang selama ini dijatuhkan pada Rusia bisa memberikan dampak dalam jangka waktu berkepanjangan. "Mungkin sekitar empat dekade," ujar Ulyukayev, seperti dikutip dari Reuters.

Menurutnya, apabila nanti ada sanksi baru yang benar-benar akan dijatuhkan, Rusia akan semakin dirundung kesulitan. Perekonomian Rusia pun akan tambah mendapat hantaman keras.

Saat ini, perekonomian Rusia terguncang oleh hadirnya berbagai faktor. Mulai dari jatuhnya harga minyak dunia, sanksi yang dijatuhkan pihak Barat, dan berkurangnya pendapatan dalam negeri.

Berbagai sebab ini telah menyebabkan nilai rubel mengalami kejatuhan sebesar 45 persen terhadap dolar AS. Ulyukayev mengatakan, kurangnya reformasi struktural ekonomi di Rusia makin menambah kencang hantaman badai perekonomian yang terjadi.

Sebenarnya, dia melanjutkan, jika tidak ada sanksi Barat, tidak ada penurunan harga minyak, dan tanpa kesalahan-kesalahan yang terjadi di dalam negeri, ekonomi Rusia mampu mengalami pertumbuhan antara 2,5 hingga tiga persen.

Sanksi baru yang akan diberlalukan semakin memberikan dampak pada perekonomian apabila harga minyak terus mengalami penurunan. "Situasi ini sangat sulit diprediksi. Kami juga terus memikirkan langkah apa yang harus kita persiapkan di masa mendatang," ujar Ulyukayev.

AS dan Eropa telah memberlakukan sejumlah sanksi terhadap Rusia. Sanki diberikan terkait campur tangan Rusia dalam krisis yang terjadi di Ukraina.

Bentuk sanksi yang diberikan, di antaranya, terhadap sektor energi Rusia, keuangan, dan militer. Sanksi juga diberikan terhadap sejumlah warga Rusia yang dekat dengan Presiden Vladimir Putin.

Meski telah menjatuhkan sanksi, AS ternyata tengah mempersiapkan sanksi baru terhadap Rusia. Juru bicara Gedung Putih Josh Earnest, Selasa (16/12) mengatakan, Presiden Barack Obama akan menandatangani Rancangan Undang-Undang (RUU) memberlakukan sanksi tambahan terhadap Rusia.

RUU sanksi baru tersebut juga memberikan kewenangan kepada Presiden AS untuk memberikan bantuan ke Ukraina, termasuk senjata antitank dan amunisi. Rencananya, RUU ini akan disahkan oleh DPR dan Senat pada tahun depan.

RUU yang diloloskan telah Senat pekan lalu itu juga memberi presiden otoritas untuk menyediakan bantuan militer berupa senjata dan bukan senjata bagi Pemerintah Ukraina.

Bantuan potensial itu mencakup senjata-senjata antitank, amunisi, dan pesawat-pesawat tak berawak untuk pemantauan.

Legislasi itu juga memungkinkan presiden memberlakukan sanksi-sanksi baru terhadap sektor-sektor pertahanan dan energi Rusia. Jika perusahaan-perusahaan Rusia menjual atau mengalihkan peralatan militer ke Ukraina, Georgia, Moldova, atau Suriah.

Menghadapi kemungkinan akan diberikan sanksi tambahan, Kementerian Luar Negeri Rusia menyatakan, hal tersebut akan sia-sia. "Kita tidak bisa tidak berharap bahwa Washington akan cepat menyadari kesia-siaannya dengan menjatuhkan sanksi terhadap negara-negara lain," bunyi pernyataan Kementerian Luar Negeri Rusia, seperti dikutip Russia Today, Rabu (17/12).

Pemerintah Rusia pun meradang setelah parlemen AS setuju menjatuhkan sanksi baru terhadap perusahaan senjata Rusia. Pihak Moskow juga kesal karena AS hendak memberikan bantuan militer ke Ukraina.

Kementerian Luar Negeri Rusia kemudian mengecam kebijakan AS tersebut yang dirasa akan merusak hubungan antarakedua negara. Sanksi tambahan ini, dirasa akan menghancurkan segala kerja sama yang telah terjalin selama ini antara As dan Rusia.

Hubungan AS-Rusia memang terus memburuk menyusul krisis Ukraina dan referendum yang terjadi di Crimea. Moskow tidak menginginkan Kiev berpaling ke Barat dan keluar dari orbit Rusia.

Selain itu, AS juga menuduh Rusia berusaha menguasai laut hitam dengan mencaplok Semenanjung Krim.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement