Jumat 05 Feb 2016 17:00 WIB

Tambang Uang Bernama Data

Red:

Pergeseran kehidupan yang makin berorientasi ke digital, telah menyebabkan terjadinya lonjakan data. Sadar atau tidak, setiap kegiatan yang kita lakukan saat ini telah memproduksi berbagai data.

Setiap ocehan di media sosial, ketika berbelanja online, mencari berbagai data di dunia maya, hingga melakukan kegiatan perbankan, semuanya menghasilkan data. Pada 2012, jumlah data dan informasi yang dihasilkan dan direplikasi melebihi 2,8 zettabyte (2,8 triliun gigabyte).

Angka ini menunjukkan pertumbuhan sembilan kali lipat dalam kurun waktu lima tahun. Angka yang tinggi ini akan terus meningkat dan diperkirakan akan tumbuh 50 kali lipat pada 2020.

Dalam laporan Big Data Market Forecast 2012-2017, dari aspek bisnis, nilai pasar global big data juga diprediksi akan mencapai 53,4 miliar dolar Amerika Serikat (AS) pada 2017. "Data kini telah dianggap sebagai sumber daya alam yang baru," ujar Chief Technology Officer IBM Indonesia, Widita P Sardjono.

Menurutnya, setiap tahunnya, jumlah data yang ada dunia mengalami pertumbuhan eksponensial sebesar 60 persen dibanding tahun sebelumnya. Sama seperti sumber-sumber daya alam pada umumnya, data juga memiliki nilai ekonomis yang tinggi.

Dari banyaknya data yang terkumpul setiap hari, 90 persen di antaranya masih berupa data yang tidak terstruktur. Di sinilah tantangan yang ditemui.

Tepatnya, bagaimana data tersebut kemudian dianalisis untuk mendapatkan berbagai insight tersendiri. Insight inilah yang kemudian bermanfaat untuk berbagai hal.

Mulai dari membaca tren masyarakat yang ada, membuat berbagai kebijakan publik, membuat aplikasi yang dapat mendeteksi bahaya bencana alam, hingga membantu petani meningkatkan produktivitas panen.

Besarnya nilai ekonomis data juga diungkapkan Country Managing Director Oracle Indonesia, Erwin Sukiato. Menurutnya, saat ini tak sedikit pihak yang rela "membakar uang" untuk mempelajari manusia.

Hal ini jugalah yang membuat beberapa marketplace di dunia maya menggelar berbagai promo besar-besaran, bahkan melakukan subsidi harga. Semua ini dilakukan untuk mendapatkan data. "Bisa membaca tren tentu akan sangat baik bagi perkembangan bisnis dalam pasar tertentu," ujarnya.

Dengan analisis data yang baik, pelaku pasar akan dapat membaca secara tepat seperti apa perilaku dari para konsumennya. Lonjakan data yang ada, Erwin melanjutkan, juga akan menimbulkan berbagai hal baru. Seperti, munculnya digital bank atau meningkatnya kebutuhan profesi penganalisis data di masa depan.

***

Edukasi privasi

Tanpa kita sadari, setiap kegiatan yang kita lakukan saat ini menghasilkan data. Berbagai data yang kita produksi juga dapat memberi gambaran yang amat detail tentang siapa dan bagaimana diri kita.

Privasi pun menjadi tak ada lagi. Karena, apa yang telah tercatat akan selamanya tersimpan, isu ini menjadi salah satu tantangan utama dalam pengelolaan data.

Menurut Widita, saat ini masih belum banyak orang di Indonesia yang menyadari bahwa setiap kegiatan keseharian kita merupakan tambang data. "Ketika kita mengambil gambar atau mem-post sesuatu, kita tidak akan tahu data kita tersebut akan sampai ke mana saja atau digunakan untuk apa," katanya menjelaskan.

Tapi, kondisi yang tak jauh berbeda sebenarnya terjadi juga di tengah masyarakat negara-negara lainnya. Oleh karena itu, di perusahaan-perusahaan yang melakukan pengelolaan big data, seperti IBM, menerapkan SOP (standard operating procedures) dengan kehati-hatian.

Dari besarnya data yang terkumpul, ada sebagian data yang menjadi milik perusahaan dan tidak bisa dibagikan kepada pihak lainnya. "Tapi, ada pula data yang memang perlu dianalisis berdasarkan kepentingan klien," ujar Widita.

Ketika menyangkut klien, ia melanjutkan, data pastilah perlu dibagi. Apabila klien juga masih perlu membagikan data dengan pihak lainnya, hal ini tentu saja tetap dimungkinkan. ed: Setyanavidita Livikacansera

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement