LAMPUNG – Ribuan pedet atau anak sapi dipanen serentak di Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Pedet-pedet tersebut merupakan hasil program inseminasi buatan (IB) Kementerian Pertanian (Kementan) sebagai upaya mewujudkan swasembada sapi.
Direktur Jenderal (Dirjen) Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan I Ketut Diarmita mengatakan, ternak sapi dan kerbau akan terus dilakukan secara masif dan serentak. Salah satu caranya dengan mengintensifkan program upaya khusus sapi indukan wajib bunting (Upsus Siwab). Program ini bertujuan menambah populasi sapi nasional.
Ketut mengatakan, sesuai arahan Presiden Joko Widodo, Indonesia harus bisa swasembada sapi pada 2026. Kementan, kata dia, akan berupaya mewujudkannya lebih cepat dari target yang ditetapkan. "Kalau bisa lima tahun (swasembada sapi), kenapa harus 10 tahun," katanya di Lapangan Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung, Selasa (15/11).
Dia menjelaskan, Kementan pada 2017 menargetkan ada empat juta akseptor sapi dan kerbau yang akan diinseminasi dengan target ternak bunting tiga juta ekor. Kementan juga akan berupaya menurunkan angka penyakit gangguan reproduksi pada sapi betina.
Langkah yang tak kalah penting adalah menghentikan pemotongan sapi betina yang masih produktif. Jika sapi betina terus dipotong, kata dia, produksi sapi dalam jangka panjang akan tertahan dan menghambat program swasembada sapi.
"Saya mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk tidak memotong sapi betina produktif. Karena, itu sama saja dengan membunuh pabrik sapi kita," ujar dia.
Ketut mengatakan, program Upsus Siwab akan memberikan banyak manfaat dari aspek ekonomi. Jika jumlah pedet yang dilahirkan minimal 2,4 juta ekor pada 2018, dalam kurun waktu satu tahun akan menghasilkan nilai ekonomi sebesar Rp 7,2 triliun. Nilai tersebut dengan asumsi setiap ekor pedet dihargai Rp 3 juta.
Kementan menyiapkan anggaran Rp 1,1 triliun untuk membiayai program unggulan percepatan peningkatan populasi sapi dan kerbau bunting. Pemerintah juga akan membantu menyiapkan benih pakan rumput, prasarana sumber air, obat-obatan, serta vaksin untuk pengendalian penyakit.
Panen pedet di Lampung bukan pertama kalinya dilakukan. Sebelumnya, kegiatan serupa telah dilaksanakan di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur dan Bone, Sulawesi Selatan. Upsus Siwab 2017 memang dilaksanakan melalui strategi optimalisasi pelaksanaan inseminasi di 33 provinsi yang dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, dilakukan di sentra sapi yang pemeliharaannya sudah dilaksanakan secara intensif seperti di Jawa, Bali, dan Lampung.
Selanjutnya, daerah sentra ternak dengan sistem pemeliharaan semi intensif, yakni di daerah Sulawesi Selatan, Sumatra, dan Kalimantan. Dan ketiga, dilakukan di daerah ekstensif yang tersebar di Provinsi Maluku, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua, Sulawesi, dan Aceh.
Untuk memberikan tambahan keuntungan kepada peternak, Kementan akan segera membuat regulasi harga susu sapi terendah. Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengungkapkan, harga susu dilaporkan sering jatuh, sehingga sangat merugikan peternak.
"Regulasinya secepat mungkin diselesaikan agar menguntungkan peternak. Lebih cepat lebih baik. Bisa di angka Rp 6.000 per liter," kata Amran di Kecamatan Pamijahan Bogor.
Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, Siti Farikah, mengatakan, saat ini harga susu sapi mulai dari Rp 4.900 sampai Rp 5.300-an per liter. Dia menilai, standar harga terendah Rp 6.000 akan menguntungkan petani dan bisa menutupi biaya pakan.
"Jadi dengan IB ini tidak perlu susah ternak sapi jantan melainkan sapi produktif bisa disuntik langsung. Harapan kami tentunya ke depan bisa swasembada daging dan susu sapi," ujarnya.
Total kebutuhan konsumsi susu sapi nasional pada 2015 tercatat sebesar 3.838.215 ton atau 15 liter per kapita per tahun. Produksi lokal berupa susu segar baru mencapai 22 persen dari kebutuhan. Sedangkan kekurangannya, yakni sebesar 78 persen, masih harus dipenuhi dari impor yang totalnya mencapai 3.003.115 ton dalam bentuk produk olahan susu. ep: Mas Alamil Huda, Santi Sopia, ed: Satria Kartika Yudha