Kamis 29 Sep 2016 18:00 WIB

Rupiah Bisa Tekan Inflasi

Red:

JAKARTA - Pemerintah yakin penguatan rupiah hingga hari ini bisa menjadi pengendali inflasi. Alasannya, penguatan nilai tukar rupiah ikut menyokong kekuatan domestik terhadap lonjakan harga komoditas impor di negara asal. Artinya, barang impor yang masuk tidak akan membuat harga-harga di dalam negeri terkerek.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, ditinjau dari sisi anggaran, penguatan rupiah hingga akhir tahun bisa memengaruhi perhitungan penerimaan negara dalam rupiah, terutama dari sektor sumber daya alam. Namun, Sri menilai bahwa penguatan rupiah juga sekaligus menjaga stabilitas inflasi tidak akan melonjak tinggi. Alasannya adalah inflasi impor atau imported inflation yang rendah.

"Masyarakat bisa menikmati keuntungan dari penguatan rupiah meski dari sisi penerimaan di APBN akan ada implikasinya. Namun, kalau dikompensasi dengan capital flow yang masuk, kita mengharapkan investasi naik," jelas Sri, Selasa (27/9).

Sedangkan, imbas jangka pendeknya adalah bertambahnya likuiditas dan melonjaknya permintaan obligasi. Artinya, ketika permintaan SBN meningkat maka harga surat utang akan naik dan berujung pada penurunan tingkat imbal hasil atau yield.

"Kalau jangka pendek, mereka akan masuk surat berharga pemerintah dan yield turun sehingga beban bunga pemerintah menurun. Jadi itu meng-compensate penerimaan dalam rupiah," kata Sri.

Sri menambahkan, dalam mengelola anggaran, pemerintah terus memantau segala dinamika perekonomian yang berlangsung baik di dalam maupun di luar negeri. Pemerintah, lanjutnya, juga menampung konfirmasi dari masyarakat terhadap jumlah modal yang masuk, persepsi, dan kepercayaan pasar yang bisa meningkatkan modal.

"Sehingga bisa meneruskan kebijakan yang baik dan prudent karena bisa memberikan dampak positif dari sisi pelaku usaha, masyarakat luas, serta market yang menimbulkan dampak positif kepada indikator ekonomi yang harus dikelola secara hati-hati," ujarnya.

Menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), penguatan nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh kebijakan tax amnesty atau pengampunan pajak yang tengah berjalan. "Rupiah itu turun naik kepada dolar, tergantung bisa rupiah kuat, bisa dolar melemah. Pada dewasa ini tentu karena melihat potensi-potensi daripada tax amnesty cukup baik maka tentu rupiah menguat. Antara lain karena itu," kata JK menjelaskan, di Jakarta Convention Center, Rabu (28/9).

Dengan semakin menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, JK menilai perekonomian Indonesia bisa lebih stabil pada masa mendatang. "Dan ekonomi kita artinya bisa stabil pada masa akan datang," tambah dia.

Seperti diketahui, tercatat dana dari hasil pengampunan pajak yang sudah masuk ke kas negara per Selasa (27/9) telah menyentuh angka Rp 65,9 triliun. Wakil Presiden JK pun optimistis pemerintah dapat mencapai target dari tax amnesty.

Nilai tukar rupiah mengalami penguatan dalam perdagangan Rabu (28/9) kemarin. Bloomberg melansir, nilai tukar rupiah menguat 21 poin ke posisi Rp 12.934 per dolar AS dari perdagangan kemarin di angka Rp 12.955 per dolar AS.

Sedangkan, berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah menguat 101 poin ke level 12.926 per dolar AS dari hari sebelumnya yang sebesar 13.027 per dolar AS.

Analis pasar dari Forextime, Cindy Melisa, mengungkapkan, penguatan rupiah terhadap dolar AS sejak Selasa (27/9) kemarin disebabkan oleh beberapa faktor penting, seperti kemenangan Hillary Clinton di debat calon presiden putaran pertama yang meningkatkan selera investor pada aset pasar berkembang. Selain itu, penguatan rupiah ini didukung pula oleh optimisme bahwa program amnesti pajak Indonesia akan menunjukkan hasilnya pada bulan September sehingga PDB pun diharapkan terdongkrak.

Cindy menambahkan, walau Bank Indonesia baru-baru ini memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5 persen untuk mendorong permintaan domestik, sentimen terhadap Indonesia masih tetap positif. "Ekspektasi peningkatan suku bunga Fed di tahun 2016 semakin menipis sehingga rupiah berpotensi terus menguat menuju Rp 12.900," jelas Cindy, Rabu (28/9).

Di sisi lain, lanjutnya, pasar finansial mengalami volatilitas ekstrem dalam beberapa pekan mendatang karena kombinasi antara ketidakstabilan harga minyak, masalah Brexit, dan antisipasi menjelang pemilihan presiden AS. Cindy menilai, meski saham Asia berhasil memasuki teritori hijau pascadebat, peningkatan di Eropa segera surut kembali karena kerugian besar yang diderita sektor perbankan dan manufaktur mobil.

"Harga minyak WTI mencapai level resistance di bawah 46 (dolar AS per barel) pada perdagangan hari Selasa karena pupusnya optimisme bahwa rapat informal OPEC di Algeria akan dapat menghasilkan kesepakatan," ujarnya. rep: Sapto Andika Candra, ed: Ichsan Emrald Alamsyah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement