Jumat 01 Jul 2016 17:16 WIB

IPA: EOR Solusi Dongkrak Produksi

Red:

JAKARTA - Direktur Eksekutif Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA), Marjolijn Wajong mengatakan, terdapat satu cara yang dipercaya bisa mendongkrak produksi minyak dalam waktu singkat, yakni dengan melakukan Enhanced Oil Recovery (EOR). Secara sederhana, EOR merupakan metode yang digunakan untuk menguras sumur-sumur tua agar produksi tetap terjaga.

Meti, sapaan akrab Marjolijn mengaku, kegiatan EOR saat ini juga terpaksa direm lantaran ikut terpikir melemahnya harga minyak dunia. Hanya saja, Meti menilai harus ada dorongan dari pemerintah agar kegiatan EOR ini menarik untuk dijalankan oleh para kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).

Saat ini, IPA sedang menyusun rencana-rencana yang bakal diajukan kepada pemerintah agar kegiatan EOR bisa meningkat. "Tapi saya rasa, pemerintah, dalam hal ini SKK Migas (Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi), menyadari kok soal kendala EOR ini. Dan sepertinya mereka sedang mempertimbangkan untuk membuat EOR cukup menarik," ujar Meti di Jakarta, Kamis (30/6).

Meti menambahkan, meski pada saat ini kegiatan EOR sudah masuk dalam cost recovery, masih diperlukan sejumlah dorongan dari pemerintah kepada KKKS agar produksi bisa bertahan atau justru meningkat. Penerapan EOR dalam jangka waktu menengah dipercaya bisa mendongkrak produksi lebih cepat dibanding harus melakukan pengeboran sumur yang baru.

Rapat Paripurna DPR yang menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016, Selasa (28/6), menyepakati lifting minyak sebesar 820 ribu barel per hari. Kesepakatan ini lebih rendah dari target dalam APBN 2016, yaitu 830 ribu barel per hari. Meski pun demikian, persetujuan DPR terkait lifting minyak dalam APBN-P 2016 sedikit lebih tinggi dibandingkan usulan pemerintah dalam RAPBN-P 2016, yakni 810 ribu barel per hari.

Meti menyebutkan bahwa penurunan produksi minyak yang terus berlangsung sampai saat ini dipengaruhi dua faktor. Faktor pertama, yakni penurunan produksi alamiah yang berlangsung di hampir seluruh sumur tua yang ada di Indonesia.

Sedangkan faktor kedua adalah adanya pekerjaan pemeliharaan alat produksi minyak yang terpaksa dibatalkan akibat industri hulu yang lesu. Pembatalan beberapa proyek pengeboran sangat dipengaruhi oleh penurunan harga minyak satu tahun belakangan.

Hal ini yang membuat banyak KKKS melihat kegiatan pengeboran menjadi tidak ekonomis.

Penurunan wajar

Kepala Kajian Kebijakan dan Keuangan Publik Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), Khoirunurrofik menilai, dalam kondisi saat ini, diturunkannya besaran rata-rata lifting minyak per hari dalam APBN-P 2016, merupakan sesuatu yang wajar. Apalagi kondisi pasar belum menjanjikan bagi industri.

"Dan memang benar banyak sumur tua yang kita punya, dan eksplorasi baru belum dimulai," kata Rofik, sapaan akrabnya, kepada Republika. Namun demikian, Rofik menyebut faktor-faktor itu bukanlah yang utama. "Saya kok merasa pengurangan lifting lebih karena permintaan perusahaan untuk reserved minyaknya dieksploitasi pada masa mendatang ketika harganya sudah menguntungkan," ujar dia.

Rofik menilai, asumsi lifting APBN-P lebih realistis. Pun dengan harga minyak 40 dolar AS per barel. "Jadi, kalau target 820 ribu barel per hari masih tidak tercapai, itu keterlaluan sekali. Saya cukup yakin pemerintah  sudah sangat hati-hati mengestimasi pendapatan dari migas. Bahkan kalau bisa dibilang, skenarionya pesimis dengan harapan target itu tercapai," kata Rofik.

Lebih lanjut, Rofik mengatakan, harus ada terobosan dari pemerintah jika ingin mencapai target tersebut. Misalnya, mendorong perusahaan tetap maksimal dalam melakukan kegiatan pertambangan. "Mungkin perlu semacam insentif. Namun dengan catatan, perlu diperbaiki sistem dan kontrol dalam cost recovery yang lebih transparan dan akuntabel, baik oleh pemerintah maupun perusahaan migas," ujar Rofik.

Kepala Departemen Humas Divisi Komunikasi Perusahaan Total E&P Indonesie, Kristanto Hartadi menyebutkan, selama ini perusahaannya berhasil mempertahankan produksi sesuai target yang tertuang dalam WPNB (Work Program and Budget) SKK Migas. Kalau pun ada penurunan produksi, itu karena instruksi SKK Migas yang disebabkan infrakstruktur gas yang belum cukup. "Tapi produksi kami selalu memenuhi target," ujar Kristanto. rep: Sapto Andika Candra  ed: Muhammad Iqbal

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement