Jumat 07 Aug 2015 17:00 WIB

Saham Tambang Sulit Bangkit

Red:

JAKARTA--Performa saham sektor industri pertambangan diperkirakan belum bisa bangkit dari zona merah hingga akhir tahun. Kondisi ekonomi global ditambah kinerja industri yang tumbuh negatif membuat optimisme pasar untuk saham sektor tambang menipis.

Saham di sektor industri pertambangan menjadi salah satu dari dua yang terburuk dalam performanya berdasarkan tahun kalender (year to date). Pada periode itu, saham pada sektor industri dasar dan kimia mengalami kejatuhan yang paling dalam, yakni mencapai minus 26,87 persen sampai penutupan penjualan saham, Rabu (5/8).

Sementara, sektor industri pertambangan menjadi yang kedua terburuk, yakni mencapai minus 26,62 persen.

"Pesimisme pasar terkait dengan perlambatan ekonomi, permintaan yang melemah, juga indeks produksi sampai margin keuntungan yang menurun di sektor industri ambil andil dalam performa saham di sektor ini," jelas analis Samuel Sekuritas, Lana Soelistianingsih, kepada Republika, Kamis (6/8).

Pergerakan saham di sektor pertambangan, Lana mengatakan, sangat terpengaruh dari kinerja industri pertambangan. Sementara, industri pertambangan sangat bergantung pada pasar global. Sayangnya, sejauh ini kondisi pasar global tidak menunjukkan pertanda positif. "Salah satunya menunggu perbaikan ekonomi Cina yang merupakan motor penggerak ekspor komoditas tambang, khususnya batu bara," katanya.

Di antara sektor industri lainnya, Lana menambahkan, tambang memang yang paling menerima pesimisme pasar saham sampai saat ini. Sektor pertambangan melihat kondisi global yang seperti sekarang, menurutnya, belum bisa berharap banyak untuk peningkatan kinerja. "Kondisi ini bisa sampai tahun depan," ujarnya.

Apalagi, ia menambahkan, Amerika Serikat dan lima negara lainnya telah mencapai kesepakatan nuklir dengan Iran pada Juli lalu. Kesepakatan itu membawa dampak produksi minyak mentah terpompa ke pasar. Pasokan yang berlebih membuat harga minyak mentah anjlok.

"Kalau ini turun, batu bara jelas akan turun karena sebagai substitusi bahan bakar, begitu pun energi alternatif lainnya," ungkap Lana.

Kinerja emiten tambang tahun ini terpukul harga komoditas batu bara. Harga batu bara tahun ini dinilai merupakan yang terburuk dalam enam tahun terakhir.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Supriatna Suhala menyatakan, penurunan harga batu bara telah terjadi selama tiga tahun belakangan.

"Bayangkan saja, sekarang harga tinggal 58 dolar AS per ton menurun dari 120 dolar AS per ton, ini penurunan lebih dari 50 persennya," katanya.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia semester I 2015 tumbuh hanya 4,7 persen. Dari sisi produksi, pertumbuhan didorong oleh semua lapangan usaha, kecuali pertambangan dan penggalian. Kedua sektor itu justru mengalami penurunan sejauh 3,58 persen.

Supriatna pun menjelaskan, saat ini biaya produksi tidak sebanding dengan harga jual yang anjlok. Padahal, saat harga batu bara masih tinggi, banyak pengusaha masuk ke industri pertambangan. Akibatnya, kini produksi batu bara melebihi permintaan pasar.

Dalam kondisi kelebihan pasokan, permintaan dunia diperkirakan menurun. Cina berencana mengurangi emisi dengan mengubah bahan bakarnya menjadi gas alam yang diimpor dari Rusia.

Sementara, Cina mengurangi impor batu baranya, Amerika justru kelebihan produksi. Negara itu menggunakan bahan bakar alternatif selain batu bara.

"Akhirnya, mereka eskpor ke Asia dan pasar kita di Cina digerogoti batu bara Amerika, Asia pun kelebihan suplai," ujar Supriatna.

Prospek industri batu bara kini berharap dari konsumsi dalam negeri. Program pemerintah dalam pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35 ribu mw. Dari kapasitas itu, 20 ribu mw akan menggunakan batu bara.

"Pak Jokowi katanya mau bangun PLTU maka akan ada tambahan 80 juta ton setahun kebutuhan dalam negeri, tapi ini lima tahun yang akan datang, jadi sabar dulu," tuturnya. N ed: nur aini

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement