Senin 29 Jun 2015 12:00 WIB

Gas Hambat Kawasan Industri

Red:

JAKARTA — Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil dan Aneka Kementerian Perindustrian Harjanto mengatakan, pembangunan kawasan industri di Teluk Bintuni, Papua Barat, harus dipercepat. Hal ini karena pembangunan kawasan industri ini terancam mangkrak apabila tidak ada langkah konkret dari pemerintah.

"Kami ingin ada percepatan supaya jangan tenggelam. Karena, kalau tidak ditekuni, sepertinya ini akan tenggelam," ujar Harjanto di Jakarta, Ahad (28/6).

Harjanto mengungkapkan, ada tiga permasalahan yang dipetakan dalam pembangunan tersebut, yakni alokasi gas dan harga gas, pembebasan dan pengelolaan lahan, serta penyertaan modal negara. Permasalahan alokasi gas dan harga gas dinilai krusial karena kawasan industri tersebut akan difokuskan untuk industri pupuk dan petrokimia. Salah satu langkah mencari titik temu harga gas sudah dilakukan penandatanganan MoU antara Pupuk Indonesia dan British Petroleum Berau untuk melakukan studi bersama.

Harga gas domestik saat ini, kata dia, cenderung naik karena lemahnya harga minyak dan tingginya fasilitas produksi. Harjanto mengatakan, biaya komponen peralatan dan eksplorasi gas cukup tinggi sehingga membuat harga gas menjadi mahal.

"Dengan demikian, yang kita pikirkan adalah cara agar bisa intervensi harga gas menjadi 7 dolar AS per mmscfd," kata Harjanto.

Untuk persoalan lahan, sudah ada kajian untuk menetapkan kawasan industri tersebut menjadi kawasan strategis nasional (KSN). Saat ini rencana detail tata ruang sedang disusun oleh Kementerian Perindustrian, yang akan digunakan sebagai dasar peningkatan status kawasan industri tersebut. Sementara itu, pembebasan lahan untuk kawasan industri telah dikoordinasikan dengan bupati Teluk Bintuni dan masih dalam tahap pembahasan. "Selanjutnya akan dilakukan musyawarah adat tentang mekanisme kerja sama pemanfaatan lahan," ungkapnya.

Selain itu, terkait dengan penyertaan modal negara Kementerian Perindustrian akan berkoordinasi dengan Kementerian BUMN, terutama untuk konversi lahan dan fasilitas umum. Karena, nantinya Direktorat Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri Kementerian Perindustrian akan membeli kawasan tersebut.

"Ini harus ada kejelasan mekanismenya, jangan sampai sudah dibeli ternyata tenant-nya gak ada karena harga gas mahal dan diharapkan semua bisa terintegrasi dengan baik," kata Harjanto.

Kawasan industri Teluk Bintuni memiliki luas lahan sekitar 2.344 hektare. Kawasan itu diperuntukkan bagi pengembangan industri petrokimia dan pupuk serta menjadi salah satu program pemerintah dalam membangun kawasan industri di Indonesia bagian timur. Selama ini investasi Pupuk Indonesia dan perusahaan petrokimia asal Jerman, Ferrostaal GmbH, di Teluk Bintuni terhambat akibat masalah pasokan gas bumi. Padahal, diharapkan kawasan industri tersebut bisa menyerap investasi sebesar 10 miliar dolar AS.

General Manager Investment and Development Pupuk Indonesia Yunelwan Rauf mengatakan, pihaknya baru bisa mengelola lahan di kawasan industri Teluk Bintuni apabila sudah ada kepastian harga gas. Menurutnya, pengadaan lahan boleh saja dilakukan oleh pemerintah. Namun, lanjut dia, jika tidak ada kesepakatan harga gas, segala kerugian akan diganti pemerintah.

Saat ini Pupuk Indonesia diketahui masih kekurangan pasokan gas sebanyak 20 mmscfd untuk memenuhi kebutuhan gas sebesar 202 mmscfd.

Perusahaan asal Jerman, Ferrostaal GmbH, yang berinvestasi di Teluk Bintuni juga membutuhkan pasokan gas sebanyak 2 juta mmscfd untuk rentang waktu 30 tahun. Rencananya Pupuk Indonesia akan menggunakan lahan 100 hektare dari keseluruhan luas kawasan industri Teluk Bintuni yang mencapai 2.344 hektare. N ed: nur aini

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement