Kamis 29 Jan 2015 13:00 WIB

Harga Gas Bebani Industri

Red:

JAKARTA — Industri baja di Tanah Air mengalami tambahan biaya akibat naiknya harga bahan bakar, seperti gas dan listrik. Dengan kondisi tersebut, asosiasi industri meminta ada penurunan harga, terutama untuk gas.

Kenaikan harga bahan bakar dinilai telah memukul sektor industri baja karena penggunaan energi berkontribusi 30 persen dari total biaya. Institutional Relation Director Indonesian Iron and Steal Industry Association, Edward Pinem, mengatakan, tingginya harga energi, membuat industri besi dan baja mengalami peningkatan tambahan biaya sebesar 70 dolar AS per ton. Dengan biaya yang semakin membengkak maka produktivitas industri dinilai menjadi tersendat dan tidak memiliki daya saing.

Kondisi itu membuat asosiasi mendesak penurunan harga gas. Asosiasi menghitung setiap penurunan harga energi satu dolar AS, dapat menghemat biaya pokok produksi sebesar 15 dolar AS. 

"Artinya kalau harga gas turun menjadi empat dolar AS, harga pokok bisa turun sampai 60 dolar AS, dan itu sangat besar sekali," ujar Edward di Jakarta, Rabu (28/1)

Dengan harga tersebut, industri baja dinilai akan mudah berjualan dan bisa memaksimalkan kapasitas yang tersedia. Selama ini, kapasitas baja dalam negeri dinilai besar. Namun, kapasitas itu belum sepenuhnya dapat digenjot karena terganjal oleh modal kerja yang berat. Akibatnya, sebanyak 60 persen kebutuhan baja nasional masih diimpor dari negara lain.

Saat harga gas diturunkan, Edward mengakui pemerintah akan rugi sebesar 130 juta dolar AS. Namun, setelah menurunkan harga gas, pemerintah bisa mendapatkan keuntungan hingga 50 kali lipat atau senilai lima miliar dolar AS dari sektor pajak.

"Penerimaan akibat gas murah memang turun, tapi pemanfaatan di tempat yang lain banyak sehingga apabila dijumlahkan, akan menutup kekurangan tersebut," kata Edward.

Edward mengungkapkan bahwa harga gas alam di beberapa negara industri juga sudah menurun. Sedangkan, harga gas untuk industri di Indonesia masih paling mahal dibandingkan negara lain di Asia Tenggara, yakni sekitar 10,2 dolar AS per mmbtu. Di Malaysia harga gas hanya dibanderol sebesat 3,69 dolar AS per mmbtu dan di Singapura sekitar 3,94 dolar AS per mmbtu.

Pelaku usaha industri baja dan besi juga mengusulkan agar pemerintah menerapkan kebijakan energi sebagai modal dasar pembangunan. Harga gas yang rendah dinilai dapat meningkatkan iklim investasi karena biaya pokok produksi industri lebih ringan.

Anggota Dewan Energi Nasional Sonny Keraf mengatakan, tidak mudah untuk menurunkan harga gas karena sebelumnya telah terikat dengan sejumlah kontrak. Di dalam kontrak tersebut sudah ditetapkan mengenai harga. Dengan demikian, upaya maksimal yang dapat dilakukan oleh Dewan Energi Nasional, yakni meminta agar pemerintah membuka ruang untuk melakukan negosiasi ulang agar harga gas dapat mengikuti dinamika internasional.

 

Persoalan harga gas dinilai merupakan urusan antara produsen dan konsumen. Apabila produsen tetap menuntut dengan harga tinggi, konsumen akan sulit melakukan produksi.

"Jadi, kepentingan kedua belah pihak ini yang harus dibuka di dalam kontrak gas itu sendiri," ujar Sonny.

Selagi harga gas masih tinggi, Sonny meminta kepada para pelaku industri untuk melakukan efisiensi. Selain itu, pelaku industri hendaknya juga dapat melakukan transparansi terhadap pemakaian gas dalam proses produksi. Sehingga, pemerintah dan stakeholder terkait dapat menentukan harga gas, listrik, dan bahan bakar minyak (BBM). 

"Kalaupun turun mungkin tidak bisa sampai empat dolar AS. Oleh karena itu, kita minta kepada pelaku industri untuk melakukan efisiensi," kata Sonny.

Apabila industri bisa melakukan efisiensi maka pemakaian energinya bisa diatasi. rep: Rizky Jaramaya ed: Nur Aini

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement