Rabu 04 Jan 2017 13:00 WIB

Bersama Melawan Berita Palsu

Red:

Presiden Joko Widodo pada 29 Desember lalu secara khusus menggelar rapat terbatas guna membahas bahaya informasi palsu alias hoax yang banyak beredar di media sosial. Rapat itu merupakan yang pertama kalinya digelar setelah Presiden dalam beberapa kesempatan kerap kali menyampaikan keresahannya akan berita-berita palsu bernada provokatif.

Saat membuka rapat, ia meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika melakukan evaluasi pada sejumlah media online yang memproduksi berita hoax. Presiden juga menginstruksikan adanya tindakan tegas pada media-media fiktif yang beritanya telah menyesatkan persepsi banyak masyarakat. "Penegakan hukum harus tegas dan keras untuk hal ini. Kita harus evaluasi media-media online yang memproduksi berita-berita bohong tanpa sumber yang jelas, dengan judul yang provokatoif, mengandung fitnah," ujar Kepala Negara.

Presiden menyebut bahwa, saat ini ada 132 juta pengguna internet aktif di Indonesia. Jumlah tersebut sama dengan 52 persen dari total penduduk Indonesia. Dari jumlah pengguna internet aktif di Indonesia, sambung Presiden, 129 juta di antaranya juga aktif menggunakan media sosial.

Agar masyarakat bersikap bijak dalam menggunakan media sosial, Jokowi meminta agar ada gerakan masif yang mengedukasi masyarakat bagaimana memanfaatkan teknologi dengan cara-cara produktif. "Gerakan ini penting untuk mengajak netizen mengampanyekan bagaimana berkomunikasi melalui media sosial yang baik, yang beretika, yang positif, yang produktif, yang berbasis nilai-nilai budaya kita," ujar Presiden.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menjanjikan, pemerintah akan lebih gencar menindak akun-akun di media sosial ataupun situs-situs yang memuat berita bohong yang mengandung provokasi dan sebaran kebencian. Ia mengatakan, pemerintah menginginkan satu penanganan yang terintegrasi dalam menangkal informasi palsu di internet. "Jadi, situsnya tidak hanya akan diblok saja, atau pemiliknya ditangkap, tetapi akunnya dibiarkan. Ini semua harus terintegrasi," ujarnya, pekan lalu.

Rudiantara juga mengungkap, sebagian besar situs yang menganggap dirinya sebagai media daring justru tidak mengikuti kaidah dalam Undang-Undang Pers. Menurut dia, saat ini ada puluhan ribu situs yang mendeklarasikan dirinya sebagai media online. Namun, berdasarkan data dari Dewan Pers, media online yang benar-benar menjalankan kaidah jurnalistik dalam memproduksi berita jumlahnya tidak sampai 500.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai, literasi pada masyarakat untuk menangkal berita palsu yang beredar di media sosial sangat penting. Tujuannya, untuk mengedukasi masyarakat dalam membedakan produk jurnalistik dan bukan jurnalistik.

Ketua Umum AJI Indonesia, Suwardjono mengatakan, saat ini banyak netizen dan pembaca yang tidak bisa membedakan yang mana produk jurnalistik dan bukan jurnalistik.

Sehingga, AJI sebagai salah satu asosiasi wartawan mencoba melakukan sejumlah hal. Pertama, AJI mendorong para jurnalis meningkatkan profesionalisme. Salah satunya, yakni dengan melakukan banyak pelatihan jurnalis. Termasuk menegakkan etika jurnalistik agar konten-konten semakin bagus, profesional.

Menurut dia, hal tersebut akan berdampak pada media tersebut yang menjadi panduan masyarakat dalam mencari informasi. Kedua, Suwardjono mengatakan, AJI menggelar literasi untuk publik ihwal bagaimana menghadapi informasi tentang media. Baik dengan menggelar festival media, hingga acara di kampus-kampus.

AJI ingin mengedukasi masyarakat ihwal bagaimana memanfaatkan media internet untuk aktivitas positif dengan program internet positif. "Salah satu seruan ke publik yang kami dorong terus menerus adalah saring sebelum sharing (membagikan). Menyaring informasi sebelum share ke orang lain," kata dia saat dihubungi Republika, kemarin.

AJI juga meminta pemerintah menyerahkan kasus mal praktik media daring pada mekanisme UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Permintaan tersebut merujuk pada instruksi Presiden Joko Widodo untuk mengevaluasi sejumlah media daring yang menyebarkan berita palsu atau provokatif.

Jangan jadi alat

Suwardjono menuturkan, permintaan Presiden Jokowi tidak boleh menjadi alat oleh aparat negara untuk membredel produk pers, membungkam pers, membungkam kebebasan berekspresi, dan berpendapat. "Serahkan kasus mal praktik media daring sesuai mekanisme UU Pers Nomor 40 Tahun 1999," kata dia.

Suwardjono mengatakan, apabila ada temuan kasus atau sengketa atas media yang dinilai provokatif atau menebar berita bohong, dapat dilakukan sejumlah penilaian. Seperti, apakah media tersebut produk pers, menggunakan kaidah jurnalistik, kode etik, dan lain-lain.

Ia meminta Presiden Jokowi harus membedakan ihwal mana produk jurnalistik dan mana media sosial. Sebab, ia melanjutkan, selama ini konten provokatif dan penyebaran berita bohong, didominasi oleh media sosial. "Pemerintah jangan sama ratakan produk jurnalistik dan produk media sosial yang saat ini mudah didapatkan melalui gadget," kata dia.

Menurut dia, yang perlu menjadi perhatian, yakni produk pers abal-abal yang menyerupai media daring, tetapi isinya provokatif, menganjurkan kekerasan dan hate speech atau menebarkan kebencian terkait isu SARA dan kewarganegaraan. "Jelas itu bukan produk jurnalistik. Bila produk pers, kerja jurnalistik dengan profesional, menegakkan etika, saya kira media seperti ini justru jadi panduan," ujar Suwardjono. rep: Halimatus Sa'diyah,Umi Nur Fadhilah  ed: Fitriyan Zamzami

***

Tips Melawan Hoax

- Jangan langsung membagi ulang tautan berisi berita bombastis yang beredar di media sosial ataupun di aplikasi pesan singkat.

- Cermati situs pembuat berita. Pastikan memiliki keterangan jelas soal alamat redaksi dan susunan dewan redaksi dengan jelas.

- Cek keberadaan berita bombastis tersebut di lebih dari satu media arus utama. Jika tak ada, bukan selalu artinya tak benar, tapi bisa diragukan.

- Periksa ulang tautan gambar dengan pengantar bombastis. Kerap kali gambar-gambar sensasional dipakai tak sesuai konteksnya.

- Jika sebuah tautan memicu emosi-emosi ekstrem, berhati-hatilah. Berita palsu kerap dibuat untuk memicu emosi.

- Hidupkan fasilitas pelacak berita palsu di aplikasi media sosial seperti Facebook dan Twitter, serta mesin pencari seperti Google Chrome.

- Gunakan fasilitas tandai berita palsu yang sudah disediakan aplikasi media sosial seperti Facebook untuk mencegah pengguna lain tertipu.

Sumber: common sense media/wawancara Republika dengan para pengamat.

Hoax dalam Angka:

51: Jumlah situs yang diblokir Kemenkominfo karena menyebar berita palsu terkait SARA.

75: Persen warga AS yang disurvei Ipsos Public Affairs memercayai berita palsu.

87: Jumlah situs yang diblokir Kemenkominfo karena menyebarkan konten berisi radikalisme.

239: Unggahan video Youtube dari Indonesia yang diblokir terkait konten negatif.

328:  Akun Facebook dari Indonesia yang diblokir terkait konten negatif.

1.193: Akun Twitter dari Indonesia yang diblokir terkait konten negatif.

800 ribu: Jumlah situs yang didata Kemenkominfo ikut menyebarkan berita palsu.

1,3 juta: Rupiah yang dihasilkan satu berita palsu dengan 100 ribu klik.

132,7 juta: Jumlah warga Indonesia yang terhubung internet pada 2016 dan rentan terpapar berita palsu.

Sumber: Kemenkominfo/Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia/Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement