Senin 21 Nov 2016 14:00 WIB

Penyebar Berita Bohong Bisa Dipidana

Red:

JAKARTA — Kepolisian Republik Indonesia meminta masyarakat tidak langsung memercayai dan menyebarkan pesan berantai melalui perangkat elektronik. Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Mabes Polri Kombes Pol Rikwanto menyebutkan, penyebaran pesan berantai yang tidak benar atau bohong bisa terindikasi pidana.

"Bagi Anda yang suka mengirimkan kabar bohong (hoax), bahkan sekadar iseng mendistribusikan (forward), harap berhati-hati. Ancamannya tidak main-main, bisa kena pidana penjara enam tahun dan denda Rp 1 miliar," kata Rikwanto di Jakarta, Ahad (20/11).

Menurutnya, pelaku penyebar kabar atau berita bohong bisa dianggap melanggar Pasal 28 Ayat 1 dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)

"Jadi, setiap orang harus berhati-hati dalam menyebarkan pesan berantai lewat perangkat elektronik. Sekarang banyak SMS ataupun surat elektronik (e-mail) hoax yang berseliweran," katanya.

Perwira menengah ini berharap masyarakat tidak menyebarkan pesan bernada provokasi, terutama dalam rangkaian pilkada serentak ini. "Tolong jangan sembarangan mem-forward (meneruskan) kabar yang belum tentu benar atau hoax karena bisa memperkeruh suasana. Yang mem-forward, disadari atau tidak, juga bisa kena (pidana) karena dianggap turut mendistribusikan kabar bohong," katanya.

Ia berpesan, bila masyarakat menerima kabar bohong, agar melaporkannya ke pihak berwajib. "Laporkan saja kepada polisi. Pesan hoax harus dilaporkan ke pihak berwajib karena sudah masuk dalam delik hukum," katanya.

Setelah laporan diproses oleh pihak kepolisian, polisi akan melakukan penyidikan dengan bekerja sama dengann Kemkominfo dan segenap operator telekomunikasi.

Sebelumnya, Kapolri Jenderal Tito Karnavian berencana membentuk tim khusus untuk meredam potensi konflik di berbagai kelompok masyarakat.

"Tim ini nantinya terdiri dari unsur kepolisian di tingkat polres, polsek, dan TNI di tingkat Kodim, Bakesbang di daerah, serta tokoh masyarakat yang tergabung dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)," katanya di Surabaya, Sabtu (19/11).

Kapolri memaparkan, potensi konflik muncul dari kelompok-kelompok terkecil hingga kelompok besar di lapisan masyarakat. "Potensi konflik dari kelompok terkecil bisa dimulai dari keluarga. Setiap hari kita menerima laporan konflik rumah tangga. Belum lagi pengajuan perceraian dari suami istri. Itu adalah contoh betapa dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga, sudah terdapat potensi konflik," katanya.

Beragam latar belakang suku bangsa di Indonesia, lanjut Kapolri, sangat memungkinkan memunculkan potensi konflik dalam kelompok besar.

"Itulah pentingnya memahami nilai-nilai kebinekaan karena pada dasarnya bangsa ini terbentuk dari latar belakang kelompok yang berbeda-beda. Akan sangat berbahaya bagi keutuhan NKRI jika salah satu kelompok memaksakan kehendak sehingga memunculkan konflik," katanya.

Menurut dia, kebebasan yang terlalu bebas seperti sekarang ini dapat menimbulkan kerawanan karena bisa memunculkan primordialisme, yaitu salah satu kelompok memaksakan kehendaknya sehingga terjadi radikalisme ataupun terorisme.

"Karena itu, perlu ada mekanisme kontrol agar potensi konflik mulai dari kelompok masyarakat terkecil sebisa mungkin dapat diredam. Karena itu, perlu tim khusus untuk itu," katanya.

Namun, Kapolri meminta tim itu nantinya juga menjunjung tinggi penegakan hukum. "Yang pasti harus tetap menghormati HAM karena operasinya adalah penegakan hukum dan mencegah munculnya konflik horizontal," katanya. antara, ed: Hafidz Muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement