Kamis 10 Nov 2016 14:00 WIB

RI Dukung Palestina Jadi Anggota Interpol

Red:

NUSA DUA -- Sidang Umum ke-85 Interpol yang digelar di Nusa Dua Bali Convention Center (BNDCC) memasuki hari ketiga. Dalam sidang tersebut, sempat disinggung juga perihal negara Palestina yang ingin menjadi bagian dari keanggotaan Interpol. Selain Palestina, Republik Kosovo dan Kepulauan Solomon juga mengajukan diri menjadi anggota Interpol.

Kepala Biro Misi Internasional Divisi Hubungan Internasional Polri, Brigjen Johanes Asadoma, mengatakan, Indonesia dalam sidang tersebut mendukung sepenuhnya Palestina menjadi bagian dari Interpol. "Mendukung, kita mendukung (Palestina)," ujar Johanes di BNDCC, Rabu (9/11).

Johanes menambahkan, keanggotaan Palestina belum bisa disahkan dalam sidang di Bali tahun ini. Penyebabnya, kata dia, masih ada persyaratan yang harus dipenuhi Palestina.

Perwakilan negara anggota sebelumnya sepakat memilih sejumlah penasihat yang akan melakukan kajian dan membuat rekomendasi keanggotaan baru. Hasil sidang umum memutuskan rencana keanggotaan tiga negara, yaitu Palestina, Republik Kosovo, dan Kepulauan Solomon ditangguhkan sementara.

"Bukan tidak mendukung, sebetulnya mendukung juga cuma mungkin ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dulu. Baru nanti diputuskan tahun depan," katanya menjelaskan.

Salah seorang penasihat Interpol yang juga mantan wakil sekretaris jenderal bidang hukum PBB, Hans Corell, menambahkan, tim penasihat akan melakukan kajian soal penambahan keanggotaan baru. Hasil kajian tersebut akan dibawa ke Sidang Umum ke-86 Interpol di Beijing, Cina. "Kami akan melakukan kajian sehingga hasil prosesnya baru bisa disampaikan di Sidang Umum Interpol ke-86 di Beijing, Cina," kata dia.

Keputusan ini, kata Corell, mengikuti keputusan yang dibuat Komite Eksekutif pada Juni lalu. Proses pemilihan anggota baru nantinya akan dijabarkan secara jelas dan transparan.

Interpol sampai saat ini beranggotakan 190 negara, merupakan organisasi terbesar kedua di dunia yang berbasis di Lyon, Prancis. Sebanyak 62 negara meminta pembahasan keanggotaan tiga negara tersebut sementara ditunda, 56 negara menolak, dan 37 negara abstain.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengklaim, pihaknya berhasil menggagalkan rencana keanggotaan Palestina di Interpol. Dia mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Luar Negeri Israel dan Dewan Keamanan nasional karena tanpa upaya bersama mereka, hal tersebut tak akan berhasil.

"Kita berhasil menghentikan upaya Palestina untuk menjadi anggota Interpol. Ini menunjukkan posisi Israel di panggung internasional," katanya dilansir dari Times of Israel.

Negara yang abstain, kata Netanyahu, mayoritas adalah negara yang pro-Palestina. Ia mengklaim, keberhasilan diplomasi Israel terhadap Palestina akan berlaku sama di PBB dan organisasi internasional lainnya.

Pertukaran data

Selain keanggotaan baru, Sidang Umum Interpol di Bali juga menyepakati kerjasama dalam bidang tukar-menukar data biometrik untuk mengungkap pelaku teroris tingkat internasional. Keterbatasan data biometrik ini ditelaah menjadi kelemahan sistem keamanan.

Sekretaris Jenderal Interpol Jurgen Stock mengatakan, setidaknya 15 ribu pejuang yang terhubungan dengan jaringan teroris melenggang bebas di luar sana. Jumlah pastinya masih belum diketahui. Namun, mereka berpotensi kembali ke negaranya untuk terlibat dalam operasi rahasia dan radikalisasi.

"Kurangnya data biometrik ini menjadi kelemahan kita, meskipun negara-negara anggota Interpol sudah saling berbagi informasi yang memungkinkan penegak hukum nasional mencegah aksi teroris," kata Stock di Nusa Dua, Rabu (9/11).

Stock menambahkan, informasi biometrik berfokus pada identifikasi berbasis sidik jari dan DNA. Interpol saat ini memiliki informasi lebih dari 9.000 pejuang teroris asing, termasuk yang berada di zona konflik. Namun, baru 10 persen data biometrik yang dapat digunakan, khususnya untuk pengenalan wajah.

Urgensi kerja sama ini, kata Stock, sangat membantu kompleksitas kejahatan lintas negara dan internasional, seperti dokumen perjalanan palsu, penipuan, menyatakan seseorang telah tewas dalam zona konflik, hingga masalah transliterasi penegakan hukum di lapangan. "Pemerintah (di masing-masing negara anggota) perlu melihat lebih dekat alasan mengapa mereka tidak bisa atau tidak mau berbagi data biometrik teroris ketika jelas-jelas hal tersebut bisa menggagalkan serangan mematikan yang mungkin saja direncanakan," katanya. rep: Mabruroh, Mutia Ramadhani  ed: Hafidz Muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement