Kamis 27 Oct 2016 14:00 WIB

Kasus HAM Tetap Diusut

Red:

JAKARTA — Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Meko Polhukam) Wiranto menegaskan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada masa lalu tetap diusut. Pemerintah tidak akan lari dari tanggung jawab untuk menyelesaikan sejumlah kasus tersebut.

"Kita serius menuntaskannya," kata Wiranto di gedung Bina Graha, Kementerian Sekretariat Negara, Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Rabu (26/10).

Penegasan hal serupa juga dijabarkan Jaksa Agung, Muhammad Prasetyo. Dia mengatakan, perkara HAM berat tidak mengenal kedaluwarsa. Upaya mempercepat penyelesaian perkara HAM terus dilakukan melalui koordinasi dan konsolidasi.

Prasetyo mengakui memang ada kendala dalam penanganan perkara tersebut yakni rentang waktu cukup lama terjadinya kasus tersebut. Sehingga, dalam penyelidikan ini harus betul-betul komprehensif untuk kemudian ditingkatkan statusnya ke penyidikan.

Ia mengatakan, dari 10 dugaan pelanggaran berat, dua diantaranya penyelesaian kasus HAM di Timor-Timor 1999 dan Tanjung Priok 1984 telah rampung. "Nah sisanya tunggakan kita, problemnya itu di antaranya belum ada pengadilan ad hoc untuk penanganan perkara ini," kata Jaksa Agung.

Meski demikian, Prasetyo yakin, masalah pelanggaran HAM berat lainnya akan bisa diselesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi. Adapun pelanggaran HAM di masa lalu itu seperti, kasus pelanggaran HAM berat tahun 1965, peristiwa Talangsari Lampung 1989, tragedi penembakan mahasiswa Trisakti 1998, tragedi Semanggi I 1998, tragedi Semanggi II 1999, kasus Wasior dan Wamena 2001 dan 2003, kasus kerusuhan Mei 1998, kasus penembakan misterius (Petrus) 1982-1985, dan kasus HAM lainnya.

Payung hukum

Komisioner Komnas HAM, Manager Nasution, mendesak pemerintah membuat regulasi penyelesaian pelanggaran HAM berat dengan cara rekonsiliasi. Hingga saat ini, belum ada payung hukum penyelesaian dengan jalan non-yudisial tersebut. "Kalau mau non-yudisial harus bentuk UU dulu, bisa dari pemerintah atau inisiatif DPR," ujar Manager.

Komnas HAM sudah menemui keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Dari pertemuan tersebut ada yang menginginkan diselesaikan secara yudisial ada pula non-yudisial.

Opsi rekonsialiasi dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu lebih kuat. Kendati demikian, Komnas HAM tidak memiliki kewenangan untuk menentukan sikap, kecuali pemerintah.

Menurut Manager, yang paling penting saat ini adalah ketegasan keputusan politik dari pemerintah. Jika akan menggunakan rekonsiliasi, harus segera dibentuk regulasi sebagai payung hukum, yang hingga kini belum ada.

Komnas HAM juga berharap, penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu segera diselesaikan. Permasalahan ini jangan menjadi beban bagi negara.

Ketua Koalisi untuk Keadilan dan Pengukapan Kebenaran (KKPK), Kamala Chandra, menuturkan, kekerasan masal dan diskriminasi sistemik telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Dampaknya, korban kekerasan itu masih terus dikucilkan.

"Banyak di antara mereka, hidup sebagai warga miskin dan lansia di berbagai pelosok negeri ini. Sulit mendapatkan akses layanan publik dan program-program pembangunan," katanya dalam siaran pers.

Dia mengatakan, pemerintah harus membuat kebijakan untuk melepaskan mereka dari pengucilan. Langkah ini merupakan mandat dari ketentuan Pasal 28 H Ayat (2) UUD 1945.

Deputi VII Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), I Nyoman Shuida, menyampaikan, ajakan menteri PMK untuk senantiasa bergotong royong dalam membangun sumber daya manusia bangsa. "Sebagai upaya untuk menuntaskan kemiskinan dan agar ke depannya tidak lagi terjadi diskriminasi," katanya saat pembukaan acara Dialog Nasional KKPK.

Mantan anggota dewan pertimbangan presiden, Jimly Asshiddiqie, memaparkan, kualitas penegakan HAM yang membaik menjadi ukuran kemajuan bangsa Indonesia kelak di mata dunia. Universalisme nilai-nilai kemanusian di Indonesia yang sejatinya sudah baik tidak akan terpengaruh oleh era globalisasi.     rep: Fauziah Mursid, Singgih Wiryono, Lintar Satria, ed: Erdy Nasrul

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement