Senin 29 Aug 2016 14:00 WIB

Muhammadiyah Gugat UU Tax Amnesty

Red:

BANTUL — Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah akan mengajukan gugatan uji materi atau judicial review atas UU Pengampunan Pajak atau tax amnesty. Pengajuan gugatan ini merupakan hasil dari Rakernas Majelis Hukum dan HAM (MHH) PP Muhammadiyah di  Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta yang berlangsung pada 26-28 Agustus 2016.

Menurut Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas, watak hukum dari kebijakan UU Pengampunan Pajak itu harus jelas, begitu pula arah hukumnya. Kejelasan dalam UU itu harus bisa merumuskan niai-nilai dalam UUD 1945, Pasal 33, dan Pasal 1, yaitu pasal-pasal yang erat dengan demokrasi dan HAM.

"Perumusan UU itu juga harus memenuhi prosedur demokrasi dan faktanya UU tax amnesty itu belum memadai, demokrasi masih minimalis. Sudah saatnya dievaluasi dan melalui judicial review kecuali pemerintah menunda," ujar Busyro usai penutupan Rakernas MHH PP Muhammadiyah, Ahad (28/8). 

Menurutnya, tax amnesty tersebut tidak memiliki sasaran jelas. Akibatnya masyarakat umum juga terkena sasaran tersebut sehingga menjadi resah. Selain itu, sasaran UU ini harus dievaluasi juga. Jangan sampai justru masyarakat kecil terkena dampaknya. Karena, tax amnesty ini sebenarnya ditujukan untuk orang yang mengalami problem dalam kewajiban pajak.

"Dan orang ini beberapa gelintir saja. Uangnya pun diparkir di luar negeri. Tapi, semua masyarakat terkena imbasnya dan ini membuat gaduh," katanya.

Selain itu, naskah akademik UU Pengampunan Pajak tidak pernah dikemukakan secara langsung ke publik, terutama kalangan akademis. Masyarakat tidak bisa mengkritisi naskah tersebut. "UU ini bentuknya top down. Kebijakan negara nalar hukumnya ditaruh di bawah kepentingan politik. Ini merusak sistem negara hukum," ujarnya.

Untuk itu, saat ini PP Muhammadyah melalui MHH akan menyusun argumen terkait judicial review UU Pengampunan Pajak tersebut. Setelah jadi, akan segera didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Mantan menteri keuangan Fuad Bawazier juga ikut menyoroti UU Pengampunan Pajak ini.  Menurut dia, program yang seharusnya menyasar pengusaha atau konglomerat saat ini malah diarahkan kepada semua wajib pajak masif alias wajib pajak guram. Sehingga, masyarakat kecil, termasuk pensiunan, gelisah dan merasakan ketakutan dikejar-kejar aparat pajak terkait keikutsertaan tax amnesty.

"Apa motif dan pertimbangan pengalihan sasaran tax amnesty itu? Benarkah karena  wajib pajak elite dan konglomerat tidak yakin pada kejujuran pemerintah (Republik Indonesia? Apalagi, diam-diam ada bisikan bahwa Singapura sampai kapan pun tidak akan membuka data keuangan orang Indonesia yang ada di Singapura," ujar Fuad.

Fuad mencontohkan, untuk mengirimkan balik oranya saja (ekstradisi), Pemerintah Singapura melakukan penolakan, apalagi untuk melepas uang milik orang Indonesia. Hal ini akan sulit. Para wajib pajak kakap juga percaya bahwa program automatic exchange of information (AEoI) yang digagas dan akan dijalankan pada 2018 tidak akan terjadi.

"Jadi, para konglomerat atau wajib pajak besar kini senyum-senyum dan tenang-tenang saja," kata Fuad.

Terpisah, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) optimistis penerimaan pajak dari perusahaan pembayar tax amnesty akan lebih besar pada September nanti. Saat ini, penerimaan dari pengampunan pajak ini dinilai masih belum terlalu besar.

"Kalau jumlahnya tidak memenuhi, ya saya rasa September ini bisa lebih baik dari sekarang," kata JK.

JK menjelaskan, penerimaan negara dari tax amnesty yang paling besar berasal dari perusahaan besar. Namun, jumlah perusahaan besar yang mengikuti program pengampunan pajak tak lebih banyak dari perusahaan-perusahaan kecil. Pemasukan negara dari hasil uang tebusan yang dibayarkan perusahaan besar pun dapat mencapai ratusan miliar.     rep: Debbie Sutrisno, Yulianingsih, Dessy Suciati Saputri, ed: Muhammad Hafil

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement