Kamis 21 Jul 2016 15:00 WIB

IPT: Indonesia 'Bersalah'

Red:

JAKARTA -- Sidang Pengadilan Rakyat Internasional (International People's Tribunal/IPT) mengenai kejadian pasca-tragedi 1965 di Indonesia sudah membuat laporan keputusan final.

Hasil temuannya, antara lain, Indonesia bertanggung jawab dan bersalah atas kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Khususnya, yang dilakukan oleh pihak militer melalui sistem komando.

Laporan keputusan majelis hakim IPT dibacakan oleh Hakim Ketua Zak Yacoob pada Rabu (20/7). Dengan kata lain, pembacaan putusan terjadi setelah sekitar delapan bulan sejak digelarnya IPT di Den Haag, Belanda, pada November 2015.

Zak merupakan mantan hakim konstitusi Republik Afrika Selatan. Demikian seperti dilansir dari Time, Rabu (29/7).

"Negara Indonesia bertanggung jawab dan bersalah atas kejahatan terhadap kemanusiaan, khususnya yang dilakukan oleh kalangan militer negara tersebut melalui jalur komando. (Kejahatan) atas tindakan-tindakan tak manusiawi seperti dijabarkan berikut," kata Zak Yacoob melalui sambungan video dari Cape Town, Afrika Selatan, Rabu (20/7).

Pembacaan oleh Zak itu disiarkan langsung ke Indonesia, Australia, Belanda, Kamboja, dan Jerman.

Dia melanjutkan, kejadian pasca-tragedi 1965 memunculkan pembunuhan kejam atas sekitar 400 ribu hingga 500 ribu jiwa. Selain itu, pemenjaraan paksa atas sekitar 600 ribu orang. Di dalamnya, terdapat kerja paksa, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, dan penafikan atas kewarganegaraan ribuan orang Indonesia.

Majelis Hakim IPT juga menilai, Presiden Suharto berperan dalam rangkaian pembunuhan dan penyebaran propaganda yang menyesatkan pasca-peristiwa 1965.

"(Propaganda) yang disebarluaskan sebagai persiapan untuk melakukan kekejaman," ujar dia.

Lebih dari itu, Zak melanjutkan pembacaan putusan itu, Amerika Serikat (AS), Britania Raya, dan Australia ikut terlibat dalam batas tertentu untuk mendukung aksi kekerasan pasca-peristiwa 1965.

Majelis Hakim IPT lantas merekomendasikan agar pemerintahan Presiden Joko Widodo meminta maaf kepada para korban dan keluarga korban kejadian pasca-tragedi 1965. Kemudian, Pemerintah RI agar melakukan investigasi terkait peristiwa tersebut. 

Untuk diketahui, IPT tidak memiliki hubungan dengan Pemerintah Belanda. Orang-orang yang menginisiasi juga bukanlah orang asing, melainkan aktivis HAM dan sejumlah warga Indonesia yang tinggal di Belanda.

Namun, format sidang dibuat sama seperti pengadilan HAM formal dengan pembentukan tim peneliti yang menghimpun data dan kesaksian, serta penyusunan panel hakim internasional.

Karena diprakarsai dan dibentuk murni oleh warga sipil biasa, IPT berada di luar negara dan lembaga formal seperti PBB. Artinya,  keputusan apa pun yang dihasilkan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Nasir, pernah menyatakan, IPT merupakan bentuk kebebasan berpendapat dan bukan bagian dari  proses pengadilan internasional.

"Pemerintah Indonesia sudah mempunyai proses tersendiri untuk rekonsiliasi, terkait dengan sejarah kita yang masa lalu itu," kata Arrmanatha Nasir.   rep: Hasanul Rizqa, ed: Muhammad Hafil

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement