Senin 02 May 2016 14:00 WIB

KPK Diminta Ambil Alih Kasus BLBI

Red:

Republika/Rakhmawaty La'lang  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

JAKARTA -- Pemulangan buron Samadikun Hartono ke Indonesia dinilai menjadi momentum bagi penegak hukum untuk kembali mengusut kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun didesak mengambil alih kasus penanganan mega korupsi itu. "Namun semua ini kembali berpulang ada tidaknya kemauan dan keberanian KPK," ujar anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, di kantornya, Jakarta, Ahad (1/5).

ICW melihat beberapa fakta dalam penanganan perkara korupsi BLBI yang selama ini ditangani kepolisian dan kejaksaan, telah memenuhi alasan bagi KPK untuk mengambil alih perkara tersebut. Apalagi, saat menjabat sebagai presiden pada awal Maret 2006, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah meminta KPK agar tidak ragu-ragu mengambil alih perkara korupsi BLBI.

Dalam catatan ICW, KPK pernah berupaya menangani perkara tersebut. Pada 2008, ketika Antasari Azhar masih menjabat sebagai ketua KPK, lembaga antirasywah itu pernah membentuk empat tim untuk melakukan penyelidikan terhadap skandal korupsi BLBI. Lalu pada 2014, proses penyelidikan perkara korupsi BLBI telah memanggil sejumlah pejabat pada era presiden Megawati Soekarnoputri, seperti Rizal Ramli dan Laksamana Sukardi. Namun, penanganan perkara selanjutnya seperti menguap begitu saja.

Di sisi lain, ICW melihat pemerintah seolah bertindak setengah hati dalam penyelesaian perkara korupsi ini, khususnya di ranah penegakan hukum. ICW pun merekomendasikan beberapa langkah yang dapat diambil oleh pemerintah. Pertama, Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus berani membatalkan Inpres No 8 Tahun 2002 yang dikenal sebagai Inpres Release and Discharge.

Berdasarkan inpres tersebut, obligor BLBI dianggap sudah menyelesaikan utangnya walaupun hanya 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam bentuk tunai, dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. Atas dasar bukti ini, bagi mereka yang diperiksa dalam proses penyidikan, akan dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

Rekomendasi lainnya, Presiden harus meminta Menteri Keuangan untuk mengumumkan kepada publik mengenai laporan perkembangan penyelesaian utang-utang para debitur BLBI. Debitur yang tidak kooperatif harus diserahkan kepada penegak hukum agar diproses secara hukum. Emerson menyebut, Jokowi juga harus meminta kejaksaan untuk melaporkan dan mengumumkan mengenai upaya penyelesaian, termasuk lelang aset milik koruptor BLBI dan kejelasan setoran ke kas negara.

Mantan direktur Penyidikan Kejaksaan Agung, Khairul Imam, menerangkan, Megawati pernah menerbitkan Master Settlement and Acquisition and Agreement (MSAA). MSAA adalah satu pernyataan di mana jika debitur mau membayar semua BLBI, pihak tersebut akan bebas dari tuntutan pidana. "Akhirnya gugur karena selembar kertas MSAA. Ini yang merupakan ganjaran yuridis sehingga banyak yang tidak tuntas," ujar Khairul.

Pakar hukum pidana, Abdul Fickar Hajar, menambahkan, BLBI dalam praktiknya bukan dimanfaatkan untuk menghidupkan likuiditas, melainkan digunakan oleh pemilik bank untuk perusahaannya yang lain. "Bank menjadi kasir pengusaha itu, makanya uang dipakai semaunya. Begitu krisis, habis itu bank," ujar Fickar.

Menurut Fickar, sejauh ini, kasus BLBI hanya semacam menjadi komoditas politik. Dia menduga, baru tertangkapnya Samadikun Hartono karena pemerintah tidak punya penanganan kasus secara sistematis dan berkelanjutan. "Siapa pun presidennya, harus ada usaha-usaha pengembalian uang BLBI. Kalau tidak, maka akan menjadi beban negara." rep: Qommarria Rostanti ed: Andri Saubani

Fakta Angka Kasus BLBI

65    Debitur yang diperiksa oleh kejaksaan

16    Perkara BLBI yang berhasil dilimpahkan ke pengadilan

11    Perkara BLBI yang dihentikan karena mendapat SKL

38    Perkara BLBI yang masih dalam tahap penyelidikan

Sumber: ICW

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement