Senin 04 Jan 2016 13:00 WIB

TNI Keluhkan Sanksi Pelanggar Udara Indonesia

Red:

JAKARTA -- Dalam menindak adanya dugaan pelanggaran di ruang udara Indonesia, TNI AU kerap melakukan upaya force down (penurunan paksa terhadap pesawat asing ataupun domestik yang tidak terjadwal. Sayangnya, tindak lanjut dari penegakan hukum terhadap pihak-pihak pelanggar wilayah udara tersebut tak menimbulkan efek jera.

Menurut Kepala Dinas Penerangan TNI AU (Kadispenau) Marsekal Pertama TNI Dwi Badarmanto, langkah penegakan dan mengamankan wilayah yuridiksi nasional memang sudah diemban oleh TNI AU melalui UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI. Tidak hanya itu, pelaksanaan tugas itu juga didasari pada Konvensi Chicago 1944 dan UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

Dalam aturan itu, Indonesia memiliki prinsip kedaulatan yang utuh dan eksklusif atas ruang udara di atas wilayah Indonesia. "Artinya, Indonesia memiliki hak penuh untuk menggunakan ruang udaranya bagi nasional guna menjamin terciptanya kondisi wilayah udara yang aman serta bebas dari berbagai ancaman melalui media udara, termasuk ancaman navigasi serta pelanggaran hukum di wilayah udara nasional," ujar Dwi, dalam keterangan resmi yang diterima Republika.

Untuk itu, TNI AU selalu melakukan berbagai upaya dalam menjaga kedaulatan udara Indonesia, salah satunya dengan melakukan force down. Namun, sayangnya, sanksi yang diberikan kepada para pelanggar tersebut , kata Dwi, tidak memberikan efek jera. Dwi memberi contoh, dalam sebuah kasus force down, pelaku hanya diberikan sanksi membayar denda sebesar 60 juta rupiah. Jumlah ini, ujar Dwi, terlalu kecil dan tentu tidak sepadan dengan biaya operasional untuk menggerakkan pesawat buru sergap TNI AU.

Kondisi seperti ini terjadi lantaran adanya celah di regulasi dan aturan pelaksanaan. Di UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan memang disinggung mengenai penegakan hukum terhadap pelanggar wilayah kedaulatan udara. Tapi, tidak disebutkan tentang tindakan pidananya karena yang diatur hanya pelanggaran terhadap prohibited dan restricted area. Artinya, pelanggaran hanya dimaknai sebagai pelanggaran perizinan masuk wilayah udara saja, bukan pelanggaran terhadap kedaulatan negara.

Selain itu, ketentuan ini juga berdampak pada proses hukum selanjutnya karena TNI AU sebagai pelaku, penindak, dan memiliki pengetahuan dan pemahaman lebih terkait masalah pelanggaran udara yang tidak dilibatkan dalam penyidikan. Selama ini, penyidikan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu di lingkup penerbangan yang pelaksanaannya di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri. Sehingga, hal ini dianggap sebagai persoalan kriminal biasa sebagaimana kewenangan polisi dalam penegakan pidana kriminal di wilayah Indonesia.

Karena itu, diperlukan adanya upaya negara untuk memikirkan kembali pentingnya dan perlunya amendemen terhadap semua regulasi yang terkait penegakan hukum dalam pelanggaran wilayah udara nasional, yang dapat mendorong TNI AU menjadi bagian dari penyidik pelanggaran udara.

  

"Sejatinya TNI AU harus hadir dalam semua prosesnya yang meliputi pengejaran, penyelidikan, dan penyidikan, karena pelanggaran wilayah udara berbeda dengan kriminal biasa, di mana dapat berdampak pada aspek pertahanan dan kedaulatan negara, bukan gangguan orang per orang," kata Kadispenau. ed: muhammad hafil

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement