Rabu 19 Aug 2015 14:00 WIB

Vonis Koruptor Alami Tren Penurunan

Red:

JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengaku kecewa dengan vonis yang diterima oleh para terdakwa koruptor pada semester pertama 2015. Menurut data yang dimiliki ICW, rata-rata hakim hanya menjatuhkan vonis hukuman penjara 25 bulan atau dua tahun satu bulan untuk terpidana kasus korupsi.

"Hakim memberikan vonis rata-rata hanya selama 25 bulan atau dua tahun satu bulan," kata anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Ardila Caesar, di kantor ICW, Jakarta, Selasa (8/18).

ICW memantau 193 perkara korupsi dengan 230 terdakwa yang telah diperiksa dan diadili pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi, kasasi, serta peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Aradila mengatakan, kebanyakan hakim menjatuhkan hukuman minimal. "Pada semester pertama 2015 ini mengalami penurunan," ujar Aradila.

Sebagai perbandingan, Ardila menambahkan, selama semester pertama pada 2014 vonis hukuman hakim terhadap terdakwa perkara korupsi rata-rata sekitar 2 tahun 9 bulan. Jumlah itu lebih tinggi dari rata-rata vonis pada kurun yang sama tahun ini. Menurut data ICW, selama semester pertama tahun ini, 163 terdakwa perkara korupsi dihukum satu sampai empat tahun penjara, 12 terdakwa dijatuhi vonis hukuman 10 tahun penjara, dan hanya tiga terdakwa dihukum lebih dari 10 tahun penjara.

Ardila melanjutkan, jumlah terdakwa perkara korupsi yang divonis bebas tahun ini juga meningkat dengan jumlah total 38 terdakwa. Sebanyak 35 terdakwa dibebaskan oleh pengadilan tingkat pertama dan tiga terdakwa diputus bebas oleh Mahkamah Agung. "Pada kurun yang sama tahun lalu hanya ada 20 terdakwa perkara korupsi yang divonis bebas menurut data ICW," kata Ardila.

Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Emerson Yuntho mengatakan, vonis ringan terhadap terdakwa kasus korupsi juga disebabkan oleh ringannya tuntutan yang diajukan oleh jaksa. Dalam catatan ICW tahun ini, rata-rata tuntutan yang diajukan jaksa selaku penuntut umum adalah tiga tahun enam bulan. "Bila dikaitkan dengan kategori hukuman, maka rata-rata tuntutan masuk ke dalam katagori ringan," ujar Emerson.

Komentar Megawati

Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri menegaskan, KPK hanyalah lembaga ad hoc. Artinya, KPK dapat dibubarkan jika tugas-tugasnya sudah selesai atau tidak ada lagi korupsi di Indonesia. "Kita harus memberhentikan yang namanya korupsi sehingga komisi yang sifatnya ad hoc ini harus sementara saja dapat diselesaikan, dapat dibubarkan," kata Megawati, di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (18/8).

Megawati menilai, kalau kondisi di Indonesia hanya berkutat pada korupsi terus-menerus, KPK tidak akan pernah dibubarkan. Padahal, keberadaan KPK hanyalah lembaga yang sifatnya sementara. Presiden keempat Republik Indonesia ini siap kalau komentarnya soal KPK akan menuai kritik dan menjadi bahan perundungan (bully) di media sosial. "Ah, saya pikir, ya sudahlah di-bully, mungkin sebagai atraksi, jadi kelihatan kan sangat pendek berpikirnya (yang mem-bully)," kata Mega.

Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji menganggap wajar pernyataan Megawati. Indriyanto meminta ucapan Megawati tak dipahami sebagian dan dipotong-potong. "Pernyataan Bu Mega sangat wajar saja kok, jangan dibaca secara parsial," kata Indriyanto.

Menurut Indriyanto, jika Indonesia sudah bersih dan bebas dari korupsi, baik dengan metode prosedural maupun substansial, maka tidak diperlukan lagi Direktorat Tipikor Polri, Pidsus Tipikor Kejaksaan, hingga KPK. Penekanannya, menurut dia, adalah Indonesia bersih dari korupsi.

Plt Wakil Ketua KPK Johan Budi menilai KPK tak boleh dibubarkan. Masih maraknya korupsi yang terjadi di Indonesia menjadi alasan tetap diperlukannya lembaga yang lahir di era Megawati Soekarnoputri saat menjadi presiden. "KPK tidak boleh dibubarkan karena korupsi masih marak dan korupsi adalah musuh besar bangsa ini," kata Johan. n c20 ed: andri saubani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement