Kamis 30 Apr 2015 14:00 WIB

KPK tak Khawatirkan Putusan MK

Red:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak mengkhawatirkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperluas objek gugatan praperadilan. Lembaga antikorupsi itu siap menghadapi apa pun konsekuensi dari putusan tersebut. "KPK menghormati apa pun putusan dan tidak mengkhawatirkan putusan yang memberikan perluasan objek praperadilan," kata Plt Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji, Rabu (29/4).

Indriyanto mengatakan, KPK telah membuktikan kesiapan menghadapi gelombang gugatan praperadilan pascakeputusan hakim Sarpin Rizaldi yang mengabulkan gugatan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan. Sehingga, kemungkinan adanya gelombang praperadilan bukan hal yang perlu dikhawatirkan.

Menurut Indriyanto, kebebasan hakim terhadap kasus-kasus praperadilan dan berbasis prinsip legalitas masih membatasi Pasal 77 KUHAP yang mengatur objek gugatan praperadilan. Namun, apa pun konsekuensi dari putusan MK tersebut, KPK siap menghadapinya. "Gugatan-gugatan apa pun bukan sebagai drama hukum, melainkan sesuatu kewajaran yang akan kami hadapi secara profesional," ujar dia.

Pelaksana tugas (plt) Wakil Ketua KPK Johan Budi meyakini, putusan MK tersebut akan menguras tenaga KPK. Namun, bukan hanya KPK, kejaksaan dan kepolisian diyakini akan banyak mengahadapi gugatan praperadilan. "Ke depan, tentu akan semakin menguras tenaga dan pikiran kita. Bukan hanya KPK, melainkan juga kejaksaan dan kepolisian," kata Johan.

Kendati demikian, menurut dia, KPK tetap menghormati putusan MK, termasuk upaya praperadilan yang diajukan para tersangka. Lembaga antikorupsi itu siap menghadapi konsekuensi, yakni kemungkinan adanya gelombang praperadilan baru. "Kita tentu akan memperkuat biro hukum untuk menghadapi kemungkinan itu semua (gelombang praperadilan)."

Dalam putusan majelis hakim konstitusi yang dipimpin Arief Hidayat, yang dibacakan pada Selasa (28/4), MK menyatakan bahwa pasal-pasal yang digugat oleh Bachtiar Abdul Fatah inkonstitusional. Pasal-pasal itu, yakni Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 77 KUHAP inkonstitusional terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 karena mengabaikan prinsip hak atas kepastian hukum yang adil.

Selain itu, Mahkamah juga mengubah Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) dengan menambahkan frasa "minimal dua alat bukti" dalam proses penetapan dan penyidikan seseorang sampai menjadi tersangka. Sebelumnya, dalam pasal-pasal itu tidak dijelaskan jumlah bukti permulaan. Pasal 1 angka 14 KUHAP, misalnya, menyebutkan, penetapan tersangka hanya didasarkan pada bukti permulaan tanpa disebutkan jumlah alat bukti.

Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU KPK yang menyebutkan bahwa bukti permulaan yang cukup telah ada apabila ditemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti. Dalam putusan ini, tiga hakim menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion). Hakim I Dewa Gede Palguna, Muhammad Alim, dan Aswanto tetap menganggap dalam Pasal 77, penetapan tersangka tetap bukan menjadi bagian dari objek praperadilan.

Hakim Asiadi

Kuasa hukum terdakwa kasus suap terkait pembahasan APBN-P 2013 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sutan Bhatoegana, melaporkan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Asiadi Sembiring yang menangani perkara praperadilannya, ke Komisi Yudisial (KY). Sutan melaporkan Asiadi atas dugaan pelanggaran kode etik. "Kedatangan kami ke sini mau menyampaikan pengaduan terhadap pelanggaran perilaku dan kode etik yang dilakukan oleh hakim tunggal Asiadi Sembiring," ujar kuasa hukum Sutan Bhatoegana, Feldy Taha, Rabu (29/4).

Dugaan pelanggaran kode etik dan ketidakprofesionalan yang dimaksud, yaitu bahwa hakim tunggal Asiadi Sembiring telah menunda jadwal sidang praperadilan dari semula 23 Maret 2015 menjadi 6 April 2015 karena ketidakhadiran pihak KPK. Menurut Feldy, hakim Asiadi juga telah keliru memahami Pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP terkait pelimpahan berkas perkara pokok.

Feldy menuturkan, pelimpahan berkas perkara pokok ke Pengadilan Tipikor belum masuk ke tahap pemeriksaan karena pemeriksaan ditandai dengan dibacakannya dakwaan oleh jaksa penuntut umum (JPU). Selain itu, tindakan hakim Asiadi yang tidak menggugurkan permohonan praperadilan di awal persidangan juga dinilai bertentangan dengan Pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP. rep: Mas Alamil Huda antara ed: Andri Saubani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement