Selasa 07 Apr 2015 15:00 WIB

Digugat, Pelarangan Dinasti Politik Berpotensi Dicabut

Red:

Pasal penjelasan pelarangan dinasti politik digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Alasan diskriminasi menjadi penyebab gugatan tersebut diajukan. Kuasa hukum Adnan Purichta Ichsan Yasin Limpo, selaku penggugat Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, Mappinawang, berharap Mahkamah Konstitusi akan menghapus pasal dinasti.

"Saya berharap dan yakin, MK akan menghapus pasal tersebut sebelum tahapan pilkada serentak dimulai, termasuk di Sulsel. Ini diyakini mendiskriminasi warga negara," ujarnya, di Makassar, Ahad (5/4). Menurut mantan komisioner KPU Sulsel itu, pasal tersebut dinilai menyalahi hak asasi berpolitik seseorang dan membatasi serta menutup ruang hak politik bagi yang akan maju menjadi calon kepala daerah. Mappinawang mengungkapkan, diketahui ada enam orang telah mengajukan judicial review ke MK. Dua di antaranya berasal dari Sulawesi Selatan, seperti putra Bupati Gowa, Adnan Purichta Ichsan Yasin Limpo dan Aji Sumarno.

Sidang lanjutan uji materi tersebut dijadwalkan digelar pada Rabu (22/4) dengan agenda sidang mendengarkan alasan pemerintah, presiden, serta DPR. Berdasarkan aturan tersebut, keluarga petahana yang memiliki ikatan darah, seperti orang tua, menantu, anak, dan saudara, tidak dapat mencalonkan diri sebagai bupati, wali kota, maupun gubernur karena diduga memiliki konflik kepentingan.

"Bila anak bupati memiliki kemampuan untuk memimpin daerahnya kira-kira di mana merugikan? Kan pilkada tersebut dikembalikan kepada rakyat. Tentunya rakyat yang menentukan layak atau tidak seseorang itu memimpin daerahnya," ujarnya.

Secara terpisah, pakar tata negara Universitas Hasanuddin Prof Aminuddin Ilmar menyatakan, diperlukan penekanan lebih tegas pada penjabaran regulasi pilkada sehingga tidak bertentangan UUD 1945 Pasal 28 D ayat 3.

"Pasal tersebut disebutkan setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Pasal yang diujikan dinilai menghalangi hak konstitusional pemohon untuk mencalonkan diri dalam pilkada," katanya.

Pendapat berbeda dilontarkan anggota DPR Komisi II Lutfi A Mutty bahwa pembatasan politik dinasti itu karena diduga setiap pilkada kadang dimanfaatkan petahana dengan segala cara, salah satunya intervensi pemilih untuk memenangkan keluarganya.

"Silakan saja, kan ini negara hukum. Nantilah MK yang akan menguji pasal itu, apakah memang melanggar hak kontitusional warga negara atau tidak," ujarnya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada terkait  larangan adanya politik dinasti, pada Pasal 7 huruf q dijelaskan bahwa calon kepala daerah yang akan maju tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana.

n antara n ed: a syalaby ichsan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement