Selasa 06 Jan 2015 14:00 WIB

MK Tuding MA Membangkang

Red:

JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan, Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang peninjauan kembali (PK) hanya satu kali tidak serta-merta membuat putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 tidak bisa dilaksanakan. Surat edaran yang dikeluarkan MA pada 31 Desember 2014 itu dianggap sebagai pembangkangan terhadap konstitusi.

"Kami secara umum punya rasa keprihatinan kalau terjadi ketidakpatuhan terhadap putusan MK. Secara lebih tegas bisa dikatakan ketidakpatuhan terhadap putusan MK bisa dikatakan disobedient terhadap putusan MK," kata Wakil Ketua MK Arief Hidayat, dalam keterangan persnya, di gedung MK, Jakarta, Senin (5/1).

Pada 6 Maret 2014 MK memutuskan Pasal 268 ayat (3) KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Karena itu, pasal pengajuan PK hanya satu kali pada perkara pidana dibatalkan. Menurut Arief, putusan tersebut diambil MK dengan pertimbangan bahwa PK bisa dilakukan berulang kali karena asas kehati-hatian dalam memutus perkara. "Karena dalam hukum pidana lebih baik memutus bebas orang yang bersalah daripada menghukum orang yang benar," ujarnya.

Asas kehati-hatian tersebut bukan untuk memberi rasa keadilan yang bersifat materil atau keadilan yang bersifat substansial. Dengan begitu, jika ditemukan novum (bukti) baru yang signifikan, maka bisa dilakukan upaya hukum luar biasa melalui PK. "Dan itu (PK) bisa berkali-kali. Jadi, itu bukan upaya hukum yang biasa, tapi upaya hukum luar biasa," ungkapnya.

Ketika pengajuan PK berkali-kali dianggap melanggar kepastian hukum, Arief melanjutkan, harus dipastikan pelanggaran tersebut menjadi masalah siapa. Negara, menurutnya, memiliki posisi yang lebih kuat dari terpidana atau terdakwa. Sehingga, KUHAP memberikan jaminan kepada terpidana atau terdakwa supaya memperoleh kepastian hukum yang adil.

Putusan MK tersebut, ditegaskan Arief, adalah keputusan konstitusi final dan tertinggi. Mahkamah, menurutnya, diberi kewenangan oleh UUD 1945 sebagai penafsir konstitusi tertinggi.

Lewat penerbitan SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tentang peninjauan kembali (PK) hanya satu kali, MA menegaskan bahwa putusan MK yang membolehkan PK berkali-kali tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. "Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya satu kali," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur.

Menurut Ridwan, SEMA yang diteken Ketua MA Hatta Ali tersebut otomatis membuat putusan MK yang mengabulkan mengabulkan uji materi Pasal 268 ayat 3 KUHAP tidak bisa dilaksanakan. Putusan MK tersebut, lanjut Ridwan, tidak serta-merta menghapus norma hukum yang mengatur permohonan peninjauan kembali yang diatur di UU MA dan UU Kekuasaan Kehakiman. Karena itu, dengan diterbitkannya SEMA, maka eksekusi terhadap terpidana mati tidak bisa ditunda lagi.

Jaksa Agung HM Prasetyo mengapresiasi terkait diterbitkannya SEMA Nomor 7 Tahun 2014. Menurut Prasetyo, SEMA tersebut diharapkan dapat memecah kebuntuan mengenai pelaksanaan eksekusi mati bagi terpidana.

"Kita inginkan supaya SEMA itu memberikan jalan keluar bagi kebuntuan kita selama ini untuk pelaksanaan pidana mati, perkara-perkara narkotika, dan lain-lainnya. Ini langkah maju, karena Mahkamah Agung sudah menyatakan bahwa pengajuan PK hanya diberikan satu kali," ujar Prasetyo, kemarin.

Jaksa Agung Muda Pidana Umum, AK Basyuni, menambahkan, Kejaksaan Agung memprioritaskan terpidana mati dari kasus narkoba untuk dieksekusi terlebih dahulu. Selain itu, lanjut Basyuni, pelaksanaan eksekusi juga akan dilakukan secara bersama-sama untuk menghemat anggaran. "Kita memang ingin mendahulukan (terpidana) narkoba," kata Basyuni.

Dari data terakhir yang dimiliki Kejaksaan Agung, sebanyak 135 terpidana mati yang sedang  menunggu pemenuhan aspek hukum dan aspek teknis pengeksekusian. Dari jumlah itu, sebanyak 64 orang adalah terpidana mati dari kasus narkoba.

Ada enam nama yang dijadwalkan seharusnya dieksekusi mati pada tahun 2014. Namun, ada beberapa terpidana mati yang harus dipenuhi hak hukumnya karena kembali mengajukan PK. Para terpidana mati tersebut adalah GS, terpidana kasus pembunuhan berencana di Jakarta Utara, dan TJ, terpidana kasus pembunuhan di Tanjung Balai, Karimun, Kepulauan Riau.

Kemudian, dua orang terpidana mati kasus narkotika dari Batam atas nama AH dan PL pada saat-saat terakhir justru mengajukan PK dan dikabulkan. Kedua terpidana itu akan menjalani sidang di Pengadilan Negeri Batam pada Selasa (6/1).

Terakhir, dua terpidana lainnya yang akan menjalani eksekusi mati  adalah Warga Negara Asing (WNA) yang terlibat kasus narkotika. Kedua WNA tersebut adalah ND, warga negara Malawi, dan MACM, warga negara Brasil. n c07 ed: andri saubani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement