Selasa 09 Sep 2014 12:00 WIB

Komnas HAM tak Sepakat Gugatan UU Perkawinan

Red:

JAKARTA -- Komisioner Komisi Nasional (Komnas) HAM Maneger Nasution menyatakan, gugatan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pernikahan beda agama bertentangan dengan Pancasila dan konstitusi UUD 1945. Gugatan tersebut dinilai berpotensi mengusik hak menjalankan ajaran agama di Indonesia.

"Gugatan uji materiil ke MK terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 2 Ayat 1 tidak sejalan dengan prinsip sila 1 dan 2 Pancasila sebagai dasar negara," tegas Maneger dalam rilisnya kepada Republika, Senin (8/9). Gugatan uji materiil itu, lanjut Maneger, juga bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 pasal 28B sebagai konstitusi negara. Bahkan, bertentangan dengan Pasal 10 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.

"Jika gugatan itu dikabulkan, artinya negara sama saja tidak hadir menjamin warganya menjalankan hukum agama yang mereka anut," ujarnya. Menurutnya, masalah perkawinan adalah domain agama. Jika Pasal 2 Ayat 1 itu dibatalkan maka hukum negara akan menabrak hukum-hukum agama.

Apalagi, lanjutnya, posisi negara hanya sebatas fungsi administrasi atau mencatat peristiwa perkawinan. Sedangkan, sah atau tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh hukum agama, bukan hukum negara.

Di Indonesia, ujar Maneger, tidak ada pembatasan perkawinan karena etnis dan warna kulit. Tetapi, tentang agama, jelas Maneger, dibatasi oleh UU. 

Sebelumnya, empat alumni dan seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) yang mengajukan uji materi UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka mempersoalkan Pasal 2 Ayat 1 undang-undang tersebut. Pasal itu berbunyi, "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu."

Rohaniawan Buddha dari Sangha Mahayana Indonesia Rahib Jimmu Gunabhadra mengatakan, tradisi dan ajaran Buddha Dharma mengajarkan penganutnya untuk menikah dengan pasangan yang sedharma atau sekeyakinan. "Kalau penganut yang sadar Buddha Dharma, pasti memilih dengan yang satu keyakinan," tutur Rahib Jimmu, kemarin. Ia menambahkan, Undang-Undang Pernikahan No 1 Tahun 1974 sesuai dengan tuntunan dharma dalam Buddha.

Walaupun pernikahan berbeda agama menjadi hak asasi manusia, ujar dia, terdapat ritual pernikahan dalam agama Buddha, seperti adanya pemberkatan dan wejangan. "Apakah penganut agama lain bersedia diikat dengan cara dan ajaran pernikahan dalam Buddha tersebut," ujar Jummi.

Sementara, dalam Buddha diajarkan bahwa pasangan suami istri harus saling menghormati dan memiliki kesetiaan menjalani ritual agama Buddha. "Kami orang Buddha, seiman, seiya, sekata, sedharma," tambahnya. rep:c57/c73 ed: fitriyan zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement