Rabu 11 Jan 2017 16:00 WIB

Mereka yang tidak Menyerah pada Harga Cabai

Red:

Lonjakan harga cabai, terutama cabai rawit merah, di seantero Indonesia telah menyita perhatian publik. Tak terkecuali di Pulau Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), yang dikenal memiliki cita rasa kuliner serbapedas.

Ragam kuliner khas Lombok memang dikenal bercita rasa pedas, dari Ayam Taliwang, Nasi Puyung, Sate Bulayak, hingga Nasi Balap yang begitu digemari masyarakat lokal ataupun wisatawan.

Namun, ada juga masakan dari daerah lain yang ikut meramaikan khazanah kuliner di Lombok, seperti warung makan padang, yang memang ada di mana-mana. Cita rasa masakan ala Minangkabau, Sumatra Barat, dirasa cocok dengan dengan lidah orang Lombok yang juga doyan pedas.

Salah satunya disajikan oleh Rumah Makan Asano. Rumah makan khas Minangkabau yang berada di Jalan Cilinaya, Kota Mataram, ini merupakan salah satu rumah makan favorit bagi masyarakat sekitar.

Lokasinya yang tepat berada di sebelah Mal Mataram di kawasan perniagaan Cakranegara membuat rumah makan ini tak pernah sepi dari pengunjung.

Sang pemilik Rumah Makan Asano, Haji Erizal Lukman (61 tahun) merupakan pria asli Bukit Tinggi, Sumatra Barat. Sejak memberanikan diri membuka Rumah Makan Asano 1989, usahanya terus meningkat dari tahun ke tahun.

Erizal mengakui kehadiran Mal Mataram ikut mengerek kesuksesan usaha lantaran banyak karyawan yang menjadi pelanggannya. Menu masakan khas Minangkabau yang kental dengan cabai sebagai bahan baku utama membuatnya berkutat dengan harga cabai yang kerap melambung seperti sekarang.

Namun, prinsip Erizal tetap sama. Seberapa pun tingginya harga cabai, dia tidak akan menaikkan harga masakan atau mengurangi takaran cabai di masakannya.

Dia tak menampik dampak kenaikan harga cabai tentu akan mengurangi keuntungan secara finansial. Namun, niat awal kala memutuskan memulai usaha ialah bagaimana bisa membantu orang lain dari sisi ini.

Dia bisa saja menaikkan harga masakan. Tetapi, akan semakin mencekik para pelanggan yang kebanyakan masyarakat kecil hingga menengah di Kota Mataram.

"Saya enggak enak naikkan harga mendadak. Saya tidak biasa begitu karena niat kita menolong, ada saja jalan yang Allah SWT berikan," ujar Erizal kepada Republika, kemarin.

Pun dengan mengurangi takaran yang akan berimbas pada cita rasa masakan yang ditawarkan. Pengalamannya selama ini tidak pernah menaikkan harga masakan karena naiknya harga cabai.

Paling-paling hanya setahun sekali. Soal takaran, dia selalu menegaskan kepada karyawan untuk memberikan nasi dalam porsi yang lebih banyak, dengan harga yang sama sebagai bagian dari sedekah.

Benar saja, keikhlasannya ini rupanya tak menyurutkan rezeki yang diterima. Ini ditandai dengan banjirnya pesanan dari instansi pemerintah, perusahaan, hingga masyarakat.

Dia mengaku, tak menyangka hal ini akan terjadi. Selain itu, kondisi pengunjung di warungnya sendiri pascakenaikan harga cabai tak  berdampak signifikan, dan relatif sama seperti hari biasanya.

Menanam cabai

Tingginya harga cabai membuat para pemangku kepentingan menyerukan sebuah gerakan sebagai solusi jangka menengah-panjang. Menanam pohon cabai.

Dimulai dari pencanangan Gerakan Nasional Penanaman 50 Juta Pohon Cabai di Pekarangan yang dipusatkan di Lapangan Tembak Divisi Infrantri I Kostrad, Cilodong, Depok, Jawa Barat, November 2016. Gerakan tersebut merupakan upaya pemerintah untuk menggalakkan penanaman cabai sehingga tidak ada kekhawatiran saat harga melonjak.

Setelah itu, dalam sebuah kesempatan beberapa waktu lalu, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita pun menyerukan hal senada. Mulailah menanam cabai di pekarangan rumah.

Imbauan tersebut ditanggapi serius oleh Miftah (28 tahun), warga Kota Bogor, Jabar. Ia pun mulai mencoba menanam cabai karena harga semakin tinggi.

"Maklumlah cabai mulai susah. Lumayan bisa saving sedikit," kata Miftah.

Karena awam perihal tanam-menanam, dia pun mulai mempelajari metode hingga bibit pohon cabai yang tepat untuk ditanam. Khususnya, benih yang tahan terhadap cuaca hujan.

"Sekarang sedang coba belajar tanam," ujar Miftah.

Tidak melulu lantaran faktor harga, aspek selera pun tak kalah penting. Seperti yang dilakukan oleh Hadian Iman Sasmita (30 tahun), warga Cinere, Depok, Jabar.

"Tiap hari itu gak enak kalau makan gak nyambel. Dengan punya satu-dua pohon cabai sendiri, gak perlu repot beli ke tukang sayur," ujarnya kepada Republika.

Hadian menjelaskan, pada awalnya, dia hanya ingin memanfaatkan pekarangan rumah. Pemilihan cabai pun didasari pada alasan sederhana, yaitu bibit mudah diperoleh dan mudah dari sisi perawatan.

Selain itu, bisa menghasilkan untuk dapur sendiri. Menurut Hadian, menanam cabai tidaklah sulit.

Berbekal petunjuk dari sang teman, dia tinggal menyemai bibit cabai dalam media berupa sekam/tanah. Setelah muncul daun tiga atau daun lima, bibit dipindahkan ke tanah yang terlebih dahulu digemburkan.

"Tinggal nunggu besar, berbunga, dan berbuah," kata Hadian yang mengaku telah menanam cabai sejak SMA. 

Terkait penanaman cabai, Guru Besar Institut Pertanian Bogor Elizabeth Sri Hendrastuti menjelaskan, kegagalan panen cabai bisa disebabkan oleh gangguan virus, iklim, ataupun varietas cabai. Namun, masalah utama biasanya disebabkan oleh hama dan penyakit.

Menurut Elizabeth, penggunaan bibit tanaman yang sehat dan bebas dari penyakit merupakan langkah awal untuk menekan perkembangan penyakit sejak dini. Idealnya, produksi bibit yang sehat dilakukan di lokasi yang terisolasi dari daerah epidemi.

Menurut dia, cara ini terbukti efektif menunda munculnya penyakit di lapangan.

"Selain itu, penggunaan mulsa plastik, pola tanam tumpang sari, rotasi tanaman, dan penanaman tanaman pembatas pinggir juga bisa menghindarkan tanaman cabai dari penyakit," kata Elizabeth.     Oleh Muhammad Nursyamsi, Santi Sopia, ed: Muhammad Iqbal

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement