Jumat 06 Jan 2017 14:00 WIB

Tekan Ego Sektoral

Red:

JAKARTA -- Instruksi Presiden Joko Widodo terkait pemerataan melalui kebijakan redistribusi aset dan legalisasi tanah menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya adalah kurangnya koordinasi antara kementerian/lembaga terkait.

"Ini persoalan ego sektoral dan sudah menjadi budaya sejak lama," ujar peneliti senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro kepada Republika, di Jakarta, Kamis (4/12).

Menurut dia, kondisi ini harus segera diperbaiki. Sebab, ada banyak permasalahan mendasar yang harus diselesaikan kementerian/lembaga secara bersama-sama.

Siti mencontohkan, ada persinggungan tugas antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Selain itu, ada pula persinggungan tugas dalam hal inovasi pelayanan publik antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

"Kementerian dan lembaga terkait semestinya sadar bahwa ada target bersama yang harus diselesaikan. Jika tidak, ketimpangan penyelesaian program pemerintah tidak akan pernah terselesaikan,"  ungkap Siti.

Ia mengingatkan pentingnya kementerian koordinator memiliki kapabilitas mumpuni dalam mengoordinasikan kementerian/lembaga. Tugas itu menjadi wewenang Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Saat memberikan pengantar pada Sidang Kabinet Paripurna di Istana Bogor, Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu (4/1), Presiden Joko Widodo menekankan, pemerataan akan menjadi fokus pemerintah pada 2017. Banyak cara yang akan ditempuh pemerintah, salah satunya melalui kebijakan redistribusi aset dan legalisasi tanah. Tujuannya agar rakyat mendapatkan akses kepada tanah.

Ketua Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Mardani Maming mendukung langkah Presiden Joko Widodo terkait pemerataan. Menurut dia, pembahasan perihal redistribusi aset dan legalisasi tanah sejak lama telah dilakukan Apkasi.

"Makanya, sebenarnya Apkasi bersama kepala daerah sangat mendukung sekali redistribusi aset dan lahan ini. Apalagi tujuannya untuk pemerataan ini," kata Mardani kepada Republika.

Ia berharap instruksi Presiden dapat diikuti dengan kemudahan masyarakat memperoleh lahan untuk meningkatkan produktivitas. Sebab, selama ini, kewenangan pertanahan tidak diberikan langsung ke daerah, melainkan di pemerintah pusat.

"Tapi tidak apa-apa, enggak menjadi soal," ujar Mardani. Bupati Tanah Bumbu ini menambahkan, tumpang tindih peraturan terkait pertanahan masih ditemukan di daerah-daerah. Hal tersebut sangat terasa di luar Pulau Jawa.

"Tanah-tanah itu masih sangat butuh legalisasi sehingga masyarakat dapat bisa mengoptimalkan lahan-lahan yang ada di daerah. Tujuannya agar masyarakat bisa meningkatkan kesejahteraan mereka," kata Mardani.

Reforma agraria

Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil menjelaskan, Kementerian ATR/BPN berfokus menjalankan reforma agraria. Kebijakan ini diharapkan akan memberikan kemakmuran kepada bangsa.

"Karena tanah yang sangat berharga dan sangat terbatas harus dimanfaatkan secara benar," ujar Sofyan, seperti dikutip laman resmi BPN. Reforma agraria yang menjadi program strategis Kementerian ATR/BPN memiliki target distribusi 9 juta hektare tanah dengan dua skema besar, yaitu legalisasi aset (4,5 juta ha) dan redistribusi tanah (4,5 juta ha).

Meski demikian, Sofyan menyebut terdapat empat permasalahan utama terkait agraria dan tata ruang di Indonesia, yakni ketidakpastian hukum atas penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, ketimpangan penguasaan tanah, sengketa, dan konflik pertanahan yang berkepanjangan serta konflik tata ruang yang menghambat pembangunan.

Integrasi tata ruang dan pertanahan mempunyai fungsi kontrol terhadap hak kepemilikan tanah (perseorangan maupun badan usaha dengan hak pemanfaatannya). "Sehingga tidak terjadi konflik dalam pemanfaatan atas tanah," kata Sofyan.

Berdasarkan data Kementerian LHK, terdapat 13,1 juta hektare hutan produksi yang bisa dikonversi di seluruh daerah di Indonesia. Dari jumlah tersebut, sekitar 6,6 juta ha sudah dipakai untuk kebun. Lahan selebihnya yang dapat dimanfaatkan masyarakat sebanyak 4-5 juta ha.       rep: Dian Erika Nugraheny, Fauziah Mursid, ed: Muhammad Iqbal

***

Kesenjangan Ekonomi Indonesia

Rasio Gini Indonesia

2007: 0,363

2008: 0,35

2009: 0,37

2010: 0,38

2011: 0,41

2012: 0,41

2013: 0,413

2014: 0,41

2015: 0,41

2016: 0,39

Jumlah penduduk miskin di Indonesia per September 2016: 27,76 juta orang (10,70 persen)

Jumlah penduduk rentan miskin: 68 juta orang

Kesenjangan antara kabupaten/kota kawasan barat Indonesia dan kawasan timur Indonesia:

19 kabupaten tertinggal di KBI

103 dari 122 kabupaten di KTI adalah kabupaten tertinggal 

Sumber: Badan Pusat Statistik, Bank Dunia, Kementerian Komunikasi dan Informatika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement