Jumat 30 Dec 2016 14:00 WIB

Harga Daging Bebani Kafe dan Restoran

Red:

Foto : Republika/Agung Supriyanto  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

JAKARTA -- Betahnya harga daging sapi di atas Rp 100 ribu per kilogram tidak hanya memberatkan pembeli ritel, tetapi juga sektor usaha jasa. Pelaku usaha di bidang kuliner, yaitu pengusaha kafe dan restoran, terkena dampak signifikan karena tingginya harga daging sapi segar. Khususnya pelaku usaha menengah ke bawah yang membeli daging dari pedagang di pasar-pasar tradisional.

"Memang kasihan ini kafe dan restoran mereka. Dampaknya pasti besar. Untung yang didapat dari usaha pasti akan turun," ujar Ketua Asosiasi Kafe dan Restoran, Eddy Susanto, di Jakarta, Kamis (29/12).

Menurut dia, harga daging sapi yang diprediksi masih akan tinggi pada tahun depan, sudah pasti membuat pengusaha kafe dan restoran terpukul. Apalagi, sebelum lonjakan harga, mereka telah dihadapkan pada pelemahan perekonomian domestik sejak tahun lalu. Imbasnya, pelaku usaha di bidang ini terdampak, terutama dari sisi penghasilan. Sebab, daya beli masyarakat minim.

Akibatnya, banyak pelaku usaha yang gulung tikar menutup kafe dan restoran. Selama ini, menurut Eddy, mulai banyak kafe dan restoran yang mulai mengalihkan menu utama dari daging sapi ke daging ayam. Alasannya sederhana, yaitu harga ayam yang jauh lebih murah, membuat pelaku usaha tidak terlalu pusing. Sebab, harga menu masih bisa dijangkau konsumen.

Namun, Eddy tak menampik apabila fluktuasi harga daging ayam kerap membuat pengusaha kafe dan restoran tetap dipusingkan dalam mengatur operasional. Sebab, harga menu tidak mungkin berubah-ubah dalam waktu singkat.

Mewakili Asosiasi Kafe dan Restoran, Eddy berharap, keinginan pemerintah untuk swasembada daging sapi bisa segera terwujud. Sebab, swasembada diyakini bisa menekan harga daging di tingkat pedagang. Sehingga, ke depan pelaku usaha kafe dan restoran bisa kembali menyajikan menu berbahan dasar sapi dengan harga yang terjangkau.  "Kalau bisa sih ya harganya jauh turun lagi. Normalnya ya, jadi kita bisa jualan lagi," kata Eddy.

Mahalnya harga daging sapi segar juga berdampak pada menu makanan yang disajikan di hotel. Lazimnya, hotel-hotel banyak menyajikan masakan yang berbahan olahan daging. Namun, perubahan menu dimungkinkan, mengingat harga daging sapi semakin tinggi. Wakil Ketua Badan Pimpinan Daerah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Daerah Istimewa Yogyakarta Herman Tony menjelaskan, harga daging yang terus melambung membuat pihak hotel harus menyesuaikan dengan bujet yang ada.

Salah satunya mengubah bahan baku menu. "Kita biasanya akan mengubah dari daging sapi impor ke daging sapi lokal atau malah ke daging ayam. Ini bergantung harga daging itu," kata Herman kepada Republika. Ia mengatakan, perubahan menu makanan akan dilakukan ketika memasuki masa liburan. Sebab, pada saat itu, akan lebih banyak pengunjung yang menginap di hotel.

Maka itu, pihak hotel tidak mungkin memberikan menu yang justru tidak terjangkau karena ditakutkan justru berdampak pada kerugian operasional. Sebagaimana Asosiasi Kafe dan Restoran, PHRI berharap swasembada yang diprediksi bisa menekan harga daging sapi segar bisa segera diwujudkan. "Kita masih menunggu kebijakan pemerintah, dan mereka kan sudah bilang mau nurunin harga daging sapi," ujar Herman.

Menjelang Tahun Baru, permintaan daging sapi di berbagai pasar tradisional di Kota Ternate, Maluku Utara, masih minim. Belum ada peningkatan untuk daging sapi.

"Bahkan, pedagang sapi yang bertempat di pasar Higenis Bahari Berkesan terlihat masih sepi pengunjung dan daging sapi hingga saat ini, masih dijual dengan harga Rp 110 ribu per kg," kata salah seorang penjual daging sapi, Amran, di Ternate, Kamis.

Ia mengaku, untuk saat ini peningkatan belum terlihat. Apalagi, permintaan pada masa Natal dan Tahun Baru dengan Lebaran sangat berbeda. Sebab, mayoritas warga Ternate merupakan Muslim. Dengan begitu, pada saat momen seperti ini tidak terlalu berpengaruh.

Di Denpasar, Bali, masyarakat setempat mengeluhkan harga daging sapi yang terus naik. Para pedagang bakso dan pedagang nasi campur menyatakan tidak bisa menahan harga jualnya karena akan merugi.

"Sebelumnya, harga daging pure hanya Rp 105 ribu sekilo, sekarang Rp 115 ribu per kilogram. Kenaikannya luar biasa," kata Darmaji, pedagang bakso keliling di kawasan Pemecutan, Depasar Barat, kepada Republika.

Dia menyebutkan, sebagai pedagang bakso keliling, dia juga harus menjaga mutu bakso buatannya. Karena itu, dia tidak mungkin mengganti daging pure dengan daging yang kualitasnya lebih rendah.

Pedagang nasi campur di kawasan Ubung, Denpasar Utara, Rosyid mengemukakan hal senada. Dengan kenaikan harga daging, dia sulit menekan harga menu makanan dan terpaksa mengurangi porsi.

Butuh waktu

Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian berdalih tingginya harga daging sapi tak lepas dari selisih kebutuhan dan ketersediaan. Berdasarkan data, kebutuhan daging sapi selama 2016 diperkirakan mencapai 6.623.000 ton, sedangkan ketersediaan hanya mampu mencapai 4.418.000 ton.

Sehingga ada minus kebutuhan daging sapi mencapai 2.205.000 ton. Kekurangan ini yang coba dibentengi pemerintah dengan guyuran daging sapi dan kerbau beku hasil importasi.

Kepala Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan BKP Kementan Benny Rachman menjelaskan, masyarakat saat ini masih berpikir, terdapat perbedaan signifikan antara daging sapi segar dan daging sapi beku.

Menurut dia, masyarakat seharusnya memanfaatkan keberadaan daging sapi beku yang harganya jauh lebih murah dibandingkan harga daging sapi segar. Sebab, ketika diolah menjadi masakan, rasanya tidak akan jauh berbeda.

Melalui Toko Tani Indonesia (TTI), Kementan berupaya untuk mengedukasi masyarakat kalau daging sapi beku pun layak untuk dikonsumsi. Saat ini TTI yang mencapai 1.000 titik di seluruh Indonesia juga akan menjual daging sapi beku.

Harapannya, masyarakat bisa semakin mudah mendapatkan pasokan daging, dengan harga yang terjangkau. Selain via impor, peningkatan pasokan dalam negeri juga menjadi fokus pemerintah.

Benny mengatakan, pemerintah melalui Kementan dan Kementerian Perdagangan berupaya keras meningkatkan populasi dan menjaga kebutuhan daging sapi. Program Inseminasi Buatan (IB) dan Intensifikasi Kawin Alam (Inka) yang digalang Kementan, serta regulasi impor baru 1:5 bagi indukan dan bakalan bisa memperbaiki kondisi populasi sapi beberapa tahun ke depan.

"Kalau ingin menstabilkan harga daging tidak bisa dalam waktu singkat, perlu waktu. Waktu pun kita sesingkat-singkatnya, ya dua tahun. Ini tinggal bagaimana kita konsisten dalam menjalankan program dalam kurun waktu tidak lama, pasti kita akan bisa memenuhi permintaan daging sapi dengan produksi lokal," kata Benny menjelaskan. rep: Debbie Sutrisno  antara ed: Muhammad Iqbal

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement