Selasa 20 Dec 2016 15:00 WIB

Pahlawan dan Politik di Wajah Uang baru

Red:
 Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Menkeu Sri Mulyani dan Gubernur BI Agus Martowardojo melihat uang rupiah baru saat peresmian pengeluaran dan pengedaran uang Rupiah Tahun Emisi 2016 di Bank Indonesia, Jakarta, Senin (19/12).
Foto: Republika/ Wihdan
Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Menkeu Sri Mulyani dan Gubernur BI Agus Martowardojo melihat uang rupiah baru saat peresmian pengeluaran dan pengedaran uang Rupiah Tahun Emisi 2016 di Bank Indonesia, Jakarta, Senin (19/12).

Peluncuran perwajahan baru lembaran dan keping rupiah kemarin mendapat tanggapan beragam masyarakat. Sebagian menyambut baik, lainnya belum paham ada pergantian.

"Saya senang lihatnya. Mirip-mirip uang-uang di luar negeri," ujar Rahmansyah, seorang pelukis yang mengunjungi pusat perbelanjaan Blok M Square, Jakarta Selatan, kemarin. Ia langsung menukarkan uang sebanyak Rp 3,8 juta ke pecahan uang baru, kemarin.

Bila dilihat sekilas, desain dan pilihan warna belasan rupiah terbaru yang dirilis oleh Bank Indonesia memang menyerupai mata uang euro dari Eropa.

Sementara Maria, salah satu pedagang pakaian di Blok M Square, juga antusias menukarkan uang baru. "Bagus uangnya, anak-anak pasti suka. Sekalian saya buat angpau (Natal dan Tahun Baru) mereka," kata Maria.

Di lain daerah, sebagian masyarakat masih mencoba mengakrabi desain baru. "Saya belum tahu kalau ada uang baru, ini malah baru pertama kali melihat," kata Yogi Pramata karyawan sebuah hotel di Kota Wisata Batu, Malang, kepada Republika, kemarin.

Di Lhokseumawe, Aceh, sejumlah pedagang kopi sempat enggan menerima bayaran dengan uang baru saat tes pasar dilakukan kantor perwakilan Bank Indonesia (BI) setempat.

Seri uang rupiah Tahun Emisi (TE) 2016 yang terdiri atas tujuh pecahan uang kertas dan empat pecahan uang logam, nyaris seluruhnya dengan wajah baru. Hanya pada pecahan Rp 100 ribu kertas, masih tetap dicantumkan foto Bapak Proklamator Sukarno dan Mohammad Hatta.

Bagaimana nama-nama pahlawan ditentukan menjadi perwajahan uang baru? Apakah ia sekadar estetika, atau ada alasan-alasan lain di baliknya?

Saiful Hadi, seorang wartawan senior di kantor berita Antara mengingat kejadian sekira setahun lalu. Ia menuturkan, saat itu dihubungi pihak pemerintah. Pesannya, ada kemungkinan wajah ayahandanya, KH Idham Chalid bakal dipakai dalam desain uang kertas rupiah yang baru.

"Lalu, yang menyampaikan infonya meminta izin setelah menyampaikan fotonya kita tanda tangan sebagai yang mewakili keluarga," tutur Saiful kepada Republika beberapa waktu lalu.

Ia memilih tak berkoar-koar soal terpilihnya sang ayah sebagai perwajahan uang kertas kepada khalayak ramai. Pada akhirnya, pemerintah mengumumkan secara resmi penunjukan itu pada 14 September lalu.

Idham Chalid adalah bagian dari kaum santri. Putra Kalimantan tersebut sempat menjabat sebagai ketua Tanfidziyah Nahdlatul Ulama dari 1956 hingga 1984. Sempat menjabat sebagai ketua DPR, ketua MPR, dan wakil perdana menteri; ia adalah kader NU paling menereng karier politiknya setelah Abdurrahman Wahid.

Pemerintah memakai wajah Idham Chalid untuk menggantikan wajah Tuanku Imam Bonjol pada pecahan uang kertas Rp 5.000.  Imam Bonjol, adalah satu dari tiga petinggi kaum Paderi di samping Tuanku Tambusai dan Tuanku Rao di Sumatra Barat. Kaum Paderi adalah penganut gerakan puritanikal Islam yang secara langsung terinspirasi gerakan pemurnian agama di Arab Saudi pada ujung abad ke-18 dan awal abad ke-19.

Kesan politis dari pergantian perwajahan itu tak luput dari pengamatan Saiful. Ia mencontohkan, warga Kalimantan banyak merasa bangga dengan pemilihan tersebut. "Bahkan, sampai ada yang mengatakan penetapan Bapak Idham Chalid di uang rupiah itu ini bisa menghibur kami karena sampai sekarang, tidak ada orang kalimantan di kabinet," ujarnya mengenang pesan-pesan pendek yang masuk ke telepon genggamnya selepas pengumuman pemerintah.

Dari kalangan Nahdliyin, menurut Saiful, mereka ikut bangga karena ada seorang santri dalam uang rupiah. Putra kelima dari  Idham Chalid itu mengatakan, gambar ayahnya di uang Rp 5.000 sudah tepat. "Karena sesuai dengan karakter ayah yang dekat dengan rakyat dan masjid," kata dia.

Waktu peluncuran uang dengan desain baru juga memiliki kebetulan politis di Papua. Pada Senin (19/12), seperti dilansir media lokal Tabloid Jubi, sejumlah pemuda pro referendum kemerdekaan Papua yang tergabung dalam Kongres Nasional Papua Barat (KNPB) berencana menggelar aksi longmarch di Jayapura, guna mengenang infiltrasi militer Indonesia selepas kesepakatan Trikora pada 19 Desember 1961. Sejumlah mahasiswa ditangkap kepolisian sejak Ahad (18/12) malam terkait rencana itu.

Sementara di desain uang baru, ada wajah Frans Kaisepo pada besaran Rp 10 ribu. Pria yang lahir pada 1921 tersebut adalah salah satu pendukung bergabungnya Papua dengan NKRI sejak Belanda masih bercokol di Tanah Air. Ia menolak pembentukan negara federasi Indonesia timur dalam perundingan Malino pada 1946 karena federasi itu tak menyertakan Papua.

Ia juga yang mengusulkan pergantian nama Papua jadi "irian", sebuah kata dari bahasa Biak-bahasa ibu Frans Kaisepo-yang artinya "tanah panas" atau "beruap". Sejarah merekam, Kaisepo melindungi para tentara Indonesia saat memasuki diam-diam wilayah Papua pada 1961.

UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang mengamanatkan, hak mengatur siapa yang tampil di mata uang adalah hak Presiden. Syarat penentuan wajah itu sederhana saja. Pertama, ia tak boleh orang yang masih hidup, kemudian pihak yang dicantumkan sudah resmi diangkat menjadi pahlawan, dan mendapat restu ahli waris.

Selanjutnya, penentuan wajah-wajah itu ditetapkan Presiden dengan kepres. Dalam peluncuran kemarin, Presiden Joko Widodo memang tak memerinci alasan pemilihan masing-masing pahlawan. Presiden hanya mengatakan, pencantuman gambar pahlawan tersebut merupakan bentuk penghargaan atas jasa para pahlawan.

"Dalam setiap lembar rupiah kita tampilkan gambar pahlawan nasional, tari nusantara, dan pemandangan alam sebagai wujud budaya dan karakteristik bangsa," ujar Kepala Negara di gedung BI, kemarin.

Sedangkan Deputi Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Andiwiana menjelaskan, pemilihan pahlawan pada desain mata uang baru didasari kebinekaaan atau keragaman Indonesia. Susunan para pahlawan tampaknya menegaskan hal tersebut. Misalnya, ada Djuanda Kartawidjaja dari Tasikmalaya, Jawa Barat, pada pecahan Rp 50 ribu dan Tjut Meutia dari Aceh pada pecahan Rp 1.000 kertas.

Tokoh yang ditampilkan juga tak seluruhnya beragama Islam, agama mayoritas di Indonesia. Selain Frans Kaisepo, ada Sam Ratulangi dari Sulawesi Utara pada pecahan Rp 20 ribu, I Gusti Ketut Pudja dari Bali pada Rp 1.000, TB Simatupang dari Sumatra Utara pada pada pecahan Rp 500 logam, dan Herman Johannes dari NTT pada pecahan Rp 100 logam.

Selain itu, ada juga ternyata alasan-alasan praktis lainnya mengapa satu tokoh ditempatkan di nominal uang tertentu.  Menurut Kepala Kantor Perwakilan BI Provinsi Papua Joko Supratikto, Frans Kaisepo ditaruh pada uang Rp 10 ribu karena mata uang itu yang paling banyak beredar di Papua. "Itu makanya di Provinsi Papua pahlawannya dapat di pecahan Rp 10 ribu supaya orang bisa mengenal pahlawannya," kata dia.        Oleh Idealisa Masyrafina, Christiyaningsih, c62/antara, ed: Fitriyan Zamzami    

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement