Masjid al-Munawarrah, Kecamatan Meureudu, menjadi tempat yang riuh sejak gempa bumi mengguncang Pidie Jaya dan sekitarnya, Rabu (7/12) lalu. Ribuan
pengungsi menyesaki halaman masjid tersebut.
Tenda-tenda didirikan di pelataran satu dari sedikit masjid yang beruntung tak roboh akibat gempa tersebut. Di sela-sela tenda dan para pengungsi,
tampak orang-orang berseragam. Adapun yang mengena kannya para relawan dan pekerja kemanusiaan yang mendatangi lokasi tersebut dari seantero Aceh,
bahkan dari daerah lain untuk meringankan beban.
Sebagian bertugas di bagian kesehatan. Lainnya mencoba menyembuhkan trauma para korban, terutama anak-anak. Tampak juga relawan pengevakuasi yang
tengah beristirahat. Sebagian lainnya ber tugas di dapur umum pengungsian.
Salah satu yang sibuk di dapur umum kemarin adalah Saiful (48 tahun). Ia meninggalkan anak-anak juga istrinya di Banda Aceh untuk menolong korban
bencana berkekuatan 6,4 pada skala Richter tersebut. Kita relawan untuk tinggalkan anak dan istri sudah biasa. Kita ninggalin anak dan istri nggak
malu karena ini, ujar Saiful saat ditemui Republika. Pria beranak lima tersebut juga mengatakan, anak-anaknya sudah memahami jika tidak dihubungi
dirinya selama menjalani pekerjaan untuk menolong orang lain yang terkena musibah.
Saiful menuturkan, sudah men jadi relawan guna memulihkan Aceh seusai diterjang bencana tsunami pada akhir 2004. Setelah menyelesai kan urusan
pribadi, pada 2005 ia ikut membantu meringankan beban para korban. Sejak itu, ia bertekad akan terus membantu orang lain. Selama tiga hari menjadi
relawan, Saiful bertanggung jawab untuk menyediakan sajian makanan kepada para korban, yang berada di pengungsian.
Kemarin, ia tampak sibuk mengawasi sekitar 30 anak buahnya yang menanak nasi dan mengatur bahan-bahan pokok. Ia tergabung dalam Taruna tanggap
Bencana (Tagana) se- Kabupaten/Kota Provinsi Aceh.
Mereka membuat dapur umum tersebut di atas truk dengan bak terbuka. Sementara di samping truk tersebut, ada sebuah tenda yang dijadikan tempat
beristirahat. Jumlah anggota kami di sini 30 orang. Untuk satu kali masak, kita siapkan untuk 2.000 jiwa yang ada di pengungsian ini, kata Saiful.
Sejauh ini, Saiful mengatakan, relawan di bagian dapur tersebut tidak menemukan kesulitan berarti. Kesulitan hanya muncul pada hari pertama
terjadinya gempa, yaitu Rabu (12/9) kemarin. Pasalnya, pada hari pertama tersebut, air bersih masih sulit didapat. Tapi untuk hari kedua sampai
hari ini, alham dulillah mobil sudah disiapin, ujarnya.
Menurut Saiful, para relawan dari Tagana sejak hari pertama sudah bertugas selama 24 jam di kamp pengungsian. Namun, khusus relawan yang perem -
puan hanya bertugas mulai pukul 06.00 WIB sampai pukul 18.00 WIB. Perempuan relawan di sini, mereka berem pat.
Mereka datang jam enam pagi, pulang jam enam sore, karena mereka menetap di Pidie Jaya sini, katanya menjelaskan.
Saat Saiful berbincang dengan Republika, salah satu relawan yang berada didekatnya tampak terus mengaduk sayursayuran di kuali besar. Dahinya
dipenuhi keringat. Untuk pagi kita biasa siapkan nasi goreng.
Siang kita siapin sayuran, seperti kentang, kol, dan tomat ada semua. Sementara untuk malamnya kita siapkan sesuai stok yang ada, kata dia.
Dari Jakarta, hadir Taufik Hidayat (38). Ia bergabung dengan relawan lain dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). Ia datang dari Jakarta dengan
membawa sekitar 10 orang relawan, ditambah dengan beberapa relawan yang didatangkan dari Medan. Saya dari hari pertama sudah berangkat. Rabu siang
berangkat, Kamis (8/12) pagi sampai di sini dan langsung aksi, kita semua tujuh orang, dan tim medis tiga orang yang membawa obat-obatan lengkap,
ujar Taufik kepada Republika.
Selama dua hari membantu para korban di pengungsian, Taufik mengungkapkan, tidak menemukan kesulitan. Namun, saat keberangkatannya pada hari
pertama, ia terpaksa menuju Medan terlebih dahulu karena tidak adanya tiket yang langsung ke Aceh. Dari situ, ia harus menempuh jalur darat dan
perjalanan jauh untuk sampai di lokasi gempa.
Taufik dan para relawan telah mengunjungi beberapa lokasi pengungsian dan akan memberikan layanan kesehatan, pembuatan hunian dan mushala
sementara, serta dapur umum. Dia mengatakan, para pengungsi hingga saat ini masih banyak yang mengalami trauma.
Bahkan, ada satu titik pengungsian di daerah Bireuen kalau malam ada ribuan, karena takut tsunami sehingga mereka memilih tinggal tenda, ucapnya.
Sementara di posko yang didirikan Baznas, saat ini terdapat 500-an warga. Mereka kerap mengeluhkan juga gangguan pernapasan karena tidak biasa
tidur di luar. Kalau relawannya alhamdulillah sehat semua, ujar dia.
Sejak kabar gempa tersiar, para relawan sudah mulai mendatangi Aceh dan Pidie Jaya. Lembaga-lembaga amal, seperti Dompet Dhuafa, Baznas, ACT, PKPU,
Rumah Zakat, dan sebagainya lekas bergerak membantu.
Relawan MER-C wilayah Aceh, Ira Hadiati yang juga pernah diamanahi sebagai project manager MER-C untuk bencana tsunami Aceh beberapa tahun silam,
bersama relawan lokal lainnya juga langsung menuju lokasi gempa untuk melakukan penilaian awal bencana.
Sore harinya di hari yang sama, MER-C Cabang Medan sebagai cabang yang terdekat dengan lokasi bencana, juga segera mengirimkan relawan medisnya
dengan menggunakan ambulans menempuh jalur darat menuju Aceh. Tim yang diketuai oleh Rifwanul Basir tersebut berencana mengoperasikan klinik
bergerak.
Ribuan personel kepolisian, prajurit TNI, serta personel Badan SAR Nasional juga turun tangan. Para pelaut yang mengoperasikan KRI di pangkalan-
pangkalan angkatan laut bersiaga. Demikian juga, pesawat-pesawat pengangkut milik TNI AU. Oleh Muhyiddin, ed: Fitriyan Zamzami